مُقَدِّمَةٌ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ
الَّذِى بِنُوْرِجَمَالِهِ أَضَاءَ قُلُوْبَ اْلعَارِفِيْنَ وَبِهَيْـبَةِ
جَلَالِهِ أَحْرَقَ فُؤَادَ ْالعَاشِقِيْنَ وَبِلَطَائِفِ عِنَايَـتِهِ عَمَّرَ
سِرَّ ْالوَاصِلِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ أَبَدًا عَلىَ خَيْرِ خَلْقِهِ
سَيِّدِنَامحَُمَّدٍ خَاتِمِ اْلأَنْبِيَاءِ وَاْلمُرْسَلِيْنَ وَذِى الشَّفَاعَةِ
ْالعَظِيْمِ وَقَائِدِ ْالغُرِّ ْالمُحَجَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَ سَائِرِ
اْلأَنْبِيَاءِ وَاْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلمَلَائِكَةِ ْالمُقَرَّبِيْنَ
وَاْلأَصْحَابِهِ وَالشُّهَدَائِهِ وَْالعُلَمَائِهِ ْالعَامِلِيْنَ
وَاْلأَوْلِيَائِهِ صَلَوَاتُ اللهُ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ ...
آمِيْنَ
MUKADDIMAH
Segala jenis puji hanya milik Allah yang menyinari hati
orang-orang mengetahui Rabb-Nya, dengan cahaya kecantikan-Nya. Membakar hati
orang yang asyik merindukan-Nya, dengan kehebatan kemulian-Nya. Memakmurkan
rahasia orang-orang yang menjadi penghubung ke jalan-Nya, dengan
pertolongan-Nya yang lemah -lembut. Shalawat dan salam ِselamanya kepada
makhluknya yang terbaik, pemimpin kami Qiblatuna Muhammad Saw. Penutup para
Nabi dan Rosul yang memiliki Syafaat Uzhma dan pemimpin para hamba yang
cemerlang dan shalawat serta salam ِselamanya kepada keluarganya. Begitu juga
kepada seluruh para Nabi dan rasul, para malaikat muqarrobin, para sahabatnya,
syuhadanya, para u`lamanya yang mengamalkan ilmunya dan para walinya. Salawat
Allah dan salam-Nya kepada mereka semua.Aaaaaamiiiin.
أنا موظف فقط على دراية قليلا
من يحب التاريخ ولكن أنا جدا الله مساء نستطيع جميعا تجني
ثمار ما أكتبه
UWAIS AL QARNI
JALUR KETURUNAN UWAIS AL QARNI
Uwais Al Qarni adalah seorang sufi yang lahir disebuah desa terpencil bernama
Qaran di dekat Nejed, anak dari Amir, sehingga dia mempunyai nama lengkap Uwais
bin Amir Al Qairani, karena beliau lahir dilahirkan di desa yang bernama Qaran,
sehingga beliau lebih di kenal dengan sebutan Uwais Al Qarni. Dan para ahli sejarah tidak menceritakan tanggal dan tahun berapa beliau dilahirkan.
Dikalangan para sufi beliau dikenal sebagai seorang yang ta'at dan berbakti
kepada kedua orang tua, dan kehiduapannya yang amat sederhana dan zuhud yang
sejati, beliau juga dikenal sebagai orang sufi yang mempunyai ilmu kesucian
diri yang amat luar biasa yang dilimpahkan Allah SWT kepadanya.
KEHIDUPAN UWAIS AL
QARNI
Sejak kecil Uwais hidup dalam kehidupan keluarga yang ta'at beribadah, dan sejak kecil beliau tidak pernah mengenyam pendidikan dilembaga-lembaga pendidikan maupun pesantren, sejak kecil beliau hanya mengenyam dan memperoleh pendidikan dari orang tuanya sendiri.
Sebagai anak yang ta'at dan patuh kepada orang tua, Uwais giat bekerja sebagai penggembala untuk membantu orang tuanya. Karena sejak kecil beliau selalu bergaul dengan para penggembala dan waktu luangnya hanya dihabiskan untuk menggembala hewan-hewan milik tuannya, sehingga dirinya tidak banyak dikenal orang lain, kecuali para penggembala dan orang-orang yang ada disekitarnya.
Sejak kecil Uwais hidup dalam kehidupan keluarga yang ta'at beribadah, dan sejak kecil beliau tidak pernah mengenyam pendidikan dilembaga-lembaga pendidikan maupun pesantren, sejak kecil beliau hanya mengenyam dan memperoleh pendidikan dari orang tuanya sendiri.
Sebagai anak yang ta'at dan patuh kepada orang tua, Uwais giat bekerja sebagai penggembala untuk membantu orang tuanya. Karena sejak kecil beliau selalu bergaul dengan para penggembala dan waktu luangnya hanya dihabiskan untuk menggembala hewan-hewan milik tuannya, sehingga dirinya tidak banyak dikenal orang lain, kecuali para penggembala dan orang-orang yang ada disekitarnya.
KEISTIMEWAAN UWAIS AL QARNI
► Walaupun beliau tidak pernah bertemu dengan Rasulullah SAW, tetapi rohaninya
selalu berhubungan.
► Pada hari kiamat nanti, dimana semua manusia akan dibangkitkan kembali, Uwais
Al Qarni akan memberikan syafa'at kepada sejumlah manusia sebanyak domba yang
dimiliki Rabi'ah dan Mundhar, demikian yang disabdakan Rasulullah SAW kepada
Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab.
► Beliau adalah seorang sufi yang amat sederhana, takut dan ta'at pada Allah
SWT, ta'at pada Rasulullah SAW dan kedua orang tuanya. Pada waktu siang hari
beliau selalu giat bekerja, tetapi walaupun beliau pada siang hari giat
bekerja, mulutnya selalu membaca istighfar dan membaca ayat-ayat Al Quran.
► Setiap hari beiau selalu dalam keadaan lapar dan hanya memiliki pakaian yang
melekat pada tubuhnya. Ini menunjukkan bahwa beliau hidup sangat sederhana
sekali. Daan dalam kesederhanaan itu beliau selalu berdo'a kepada Allah SWT,
"Ya Allah, janganlah ENGKAU siksa aku karena ada yang mati kelaparan dan
jangan pula ENGKAU siksa aku karena ada yang kedinginan".
► Beliau selalu bersam Tuhan dan orang-orang yang lemah. Beliau dapat merasakan
penderitaan yang dialami oleh orang-orang yang lemah dan membuat dirinya
seperti mereka sebagaimana yang pernah diamalkan Rasulullah SAW.
Banyaknya keistimewaan yang dimiliki oleh seorang Uwais Al Qarni, hingga
membuat Rasulullah SAW memerintahkan kepada Umar bin Khattab dan Ali bin Abi
Thalib untuk menemui Uwais sambil menyampaikan salam dari Rasulullah SAW.
Ketika Umar dan Ali berhasil menemui Uwais, terjadilah percakapan sebagaimana
yang telah dituturkan oleh Abu Na'im Al Asfahani,
Umar ► "apa yang anda kerjakan disini.?"
Uwais ► "Disini saya bekerja sebagai penggembala"
Umar ► "Siapa sebenarnya anda ini.?"
Uwais ► "Saya adalah hamba Allah SWT
Umar ► "Semuanya sudah tahu, kita semua adalah hamba Allah SWT,
izinkanlah kami mengetahui dan mengenal anda lebih dekat"
Uwais ► "Silahkan"
Umar dan Ali ► "Setelah kami perhatikan, kami mempunyai kesimpulan
bahwa anda inilah orang yang pernah diceritakan Rasulullah SAW kepada kami,
oleh karena itu berilah kami pelajaran dan do'akan kami agar memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akhirat".
Uwais ► "Saya tidak mendo'akan seseorang secara khusus. Setiap hari
kami elalu mendo'akan kepada seluruh umat Islam. Siapa sebenarnya anda berdua
ini.?".
Ali ► "Beliau adalah Umar bin Khattab Amirul Mukminin dan saya
adalah Ali bin Abi Thalib, kami berdua diutus Rasulullah SAW menemui anda dan
menyampaikan salam dari Rasulullah SAW.
Uwais ► "Assalaamu 'alaikum wahai Amirul Mukminin dan wahai Ali bin
Abi Thalib, semoga Allah SWT selalu memberi kebaikan kepada tuan berdua atas
jasa-jasa tuan kepada umat Islam".
Umar ► "Berilah kami pelajaran yang bermanfaat wahai hamba
Allah".
Uwais ► "Carilah Rahmat Allah SWT dengan ta'at dan mengikuti dengan
penuh pengharapan dan takutlah tuan kepada Allah SWT."
Umar ► "Terima kasih atas pelajaran yang anda berikan pada kami
yang sangat berharga ini. Dan kami telah menyediakan kepada anda seperangkat
pakaian dan uang untuk tuan. Kami mengharapkan agar anda menerimanya."
Uwais ► "Terima kasih wahai Amirul Mukminin, kami tidak menolak dan
juga tidak membutuhkan apa yang tuan awa. Upah yang saya terima 4 dirham itu
sangat berlebihan, sehingga sisanya saya berikan kepada ibuku. Sehari-hari saya
hanya memakan buah korma dan minum air putih dan sayaini belum pernah memakan
makanan yang dimasak. Kurasakan hidupku ini seolah-olah tidak sampai pada
petang hari dan kalau tiba petang hari saya tidak merasa sampai pada pagi hari.
Hati saya selalu mengingat Allah SWT dan sangat kecewa kalau tidak sampai
mengingat-Nya.
Ada beberapa
pokok pelajaran dari seorang Uwais al Qarni agar manusia memperoleh kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.
"Seseorang akn memperoleh ketenangan dan ketenteraman jika hatinya
selalu berdzikir kepada allah SWT dan tidak pernah terputus."
"Dan bahwa Hati itu hanyalah untuk Allah SWT, bukan untuk yang
lainnya. Oleh karena itu kuasailah nafsu dan tundukkanlah secara penuh."
WAFATNYA UWAIS AL QARNI
Walaupun Uwais setiap hari selalu menyendiri dan tidak pernah berkumpul dengan
orang lain, namun pada saat-saat tertentu seperti ketika ada panggilan jihad
untuk membela dan mempertahankan agama Allah SWT, maka beliau ikut terpanggil
bersama orang Islam lainnya untuk berperang membela kebenaran.
RABIAH AL ADAWIYAH
KISAH RABIAH AL ADAWIYAH Rabiah ialah anak keempat dalam satu keluarga miskin dilahirkan pada kurun pertama Hijrah di kota Basrah, tebing Sungai Dajlah, Iraq. Bapanya bernama Ismail bin Muhammad Dawi. Beliau dilahirkan dalam keluarga yang sangat patuh dan taat pada agama, sukakan kebaikan dan sentiasa berdamping diri dengan Al Quran. Ayahnya seorang yang warak, sentiasa memenuhi masa dengan membaca Al Quran, memperbanyakkan sembahyang sunat, dan berpuasa serta hati tak lekang dari berzikir mengingati Allah.
Oleh kerana Rabiah anak yang bongsu, dia selalu mengikuti bapanya dan
berdamping dengan segala program ayahnya. Sejak kecil lagi beliau telah dapat
menghafaz Al Quran. Selain itu Al Quran juga menjadi penawar hatinya dan ubat
bagi mengubati segala penyakitnya. Perangai Rabiah sangat berbeza dari adik
beradiknya yang lain. Beliau sentiasa tenang dan tidak gopoh apabila melakukan
sesuatu pekerjaan. Bila waktu makan, beliau makan sedikit dan berhenti sebelum
kenyang.
Rabiah selalu mengingatkan ayahnya supaya mengawasi dari memberi makanan
yang syubhat lebih-lebih lagi yang haram kepadanya.
“Wahai ayah, lebih baik bersabar kerana lapar di dunia daripada bersabar
terhadap azab Allah di akhirat.”
Dari keistimewaan yang terdapat padanya serta tingkah lakunya yang luar
biasa sejak dari kecil itu, ternyata bahawa suatu hari nanti Rabiah Al Adawiyah
akan menjadi salah seorang di antara kekasih-kekasih Allah. Bagaimanapun untuk
mencapai darjat yang tinggi itu beliau terpaksa menghadapi berbagai ujian dan
penderitaan hidup. Allah SWT tidak akan mengangkat darjat seseorang dengan
semudah atau tanpa diuji terlebih dahulu.
Ujian pertama yang terpaksa ditempuhi ialah ayahnya meninggal dunia dalam
usianya yang masih muda, ibunya pula menyusul tidak lama selepas itu. Ini
membuatkan beliau terpaksa berpisah dengan adik beradiknya yang lain.
Tinggallah Rabiah yatim piatu dan sebatang-kara tanpa saudara mara tempat
mengadu dan bergantung hidup. Ketika itu ia hidup penuh dengan linangan air
mata dan kesedihan memanjang. Ini membuatkan dia sedar dan insaf bahawa ujian
yang Allah timpakan itu adalah untuk mengajarnya agar jangan bergantung dengan
makhluk yang lain kecuali Allah. Allahlah tempat mengadu dan Allah jugalah yang
menjadi hiburan dan tempat mengharap kasih sayang. Kini beliau menyerahkan
dirinya bulat-bulat pada Allah.
Dalam keadaan demikian Rabiah telah bersua dengan seorang lelaki tua yang
sedang bertasbih dan memuji Allah. Beliau menasihatkan Rabiah supaya bersabar
kerana itu merupakan ujian Allah. Rabiah sentiasa diperlihatkan dengan
mimpi-mimpi yang baik dalam tidurnya serta membuatkan beliau tenang dan sabar
dalam menempuh dugaan dan cabaran hidup.
Tidak berapa lama kemudian, bandar Basrah tempat tinggalnya telah dilanda
musim kemarau yang sangat teruk dan berakhir dengan kebuluran dan kemusnahan.
Ini membuatkan Rabiah terpaksa berhijrah ke tempat lain yang lebih selamat.
Sewaktu menumpang dalam satu kafilah, tanpa disangka-sangka kafilah mereka
telah diserang oleh perompak. Ketua perompak itu telah menangkap Rabiah untuk
dijadikan barang rampasan dan beliau telah dijual di pasar sebagai hamba abdi.
Kini ia terikat dan berkhidmat pula dengan seorang tuan yang baru. Siang
hari terpaksa bekerja kuat, membanting tulang empat keratnya mengangkat air,
mengemas serta mengurus rumah. Namun begitu, walaupun keletihan, di malam hari,
tetap digunakan untuk bermunajat dan beribadah kepada Allah. Dia sedar masa
yang Allah kurniakan sangat berharga kepada hamba-hamba-Nya yang mahu berfikir.
Suatu hari, ketika beliau ke satu tempat atas suruhan tuannya, beliau telah
dikejar oleh orang jahat. Rabiah terpaksa lari menyelamatkan diri tetapi
malang, kakinya telah tergelincir lalu jatuh. Tangannya patah lantas beliau
berdoa kepada Allah: “Ya Allah, aku ini anak yatim lagi abdi. Sekarang tanganku
pula patah. Sungguh aku tidak peduli itu semua asalkan Engkau redha padaku, dan
tunjukkanlah akan keredhaanMu itu.”
Tiba-tiba dia terdengar satu bisikan menyuruh ia bersabar dan mengingatkan
ia akan janji-janji Allah di akhirat kelak. Selepas peristiwa itu pergantungan
hatinya dengan Allah semakin teguh. Segala pengalaman yang dilalui dalam
menempuh hi¬dup ini yang penuh onak dan duri serta malapetaka dan bahaya
menjadikan beliau seorang yang tahan diuji. Segala ujian yang ditimpakan itu
semakin meneguh dan menguatkan keyakinannya terhadap Allah.
Pada suatu malam secara tidak sengaja tuannya telah terdengar suara rayuan
dan munajat Rabiah kepada Allah. Ia bangun bertahajud di kala orang lain sedang
enak tidur dibuai oleh mimpi-mimpi indah. Dengan penuh linangan air mata,
Rabiah bercakap-cakap dengan Alllah, katanya: “Tuhanku, Engkau lebih
mengetahui bagaimana aku cenderung benar hendak melakukan perintah-perintahMu
dan menghambakan diriku dengan sepenuh jiwa wahai cahaya mataku. Jikalau aku
bebas, aku akan habiskan seluruh masa malamku dan siangku dengan melakukan
ibadat padaMu. Tetapi apa yang boleh aku buat kerana Kau jadikan aku hamba
kepada manusia.”
Tiba-tiba bilik Rabiah diterangi eahaya yang terang-benderang sedangkan
dalam bilik itu tidak ada pelita atau lampu. Ini membuatkan tuannya sedar dan
insaf akan kesalahannya kerana tidak membebaskan orang yang begitu hampir dan
cinta kepada Allah.
Keesokan harinya, pergilah tuannya berjumpa dengan Rabiah dan memberitahu
bahawa ia menyesal kerana memperhambakan Rabiah selama ini bahkan dia pula
bersedia untuk menjadi hamba kepada Rabiah. Mendengar itu Rabiah merasa
terharu. Dia lebih rela meninggalkan rumah itu dan mengasingkan diri dengan
beruzlah serta bertaqarub kepada Allah.
Akhirnya, Rabiah Al Adawiyah kembali menumpukan sepenuh perhatian untuk
beribadah dan memuji-muji Allah, mencurahkan harapan dan isi hatinya kepada
Allah. Dia cintakan Allah sepenuh jiwa dan perasaan kerana dia dapat melihat
Allah dengan ‘ainul basyirah’. Dia sedar hanya Allah sahaja yang layak dicintai
dan dirindui serta dipuja dan hanya Allah yang mempunvai sifat-sifat yang
lengkap untuk dipuji.
Berbagai karamah yang Allah kurniakan padanya dalam pengalaman kerohanian
yang dilaluinya. . Di antaranya, pada suatu ketika Hassan Al Basri mengajak
Rabiah berbincang mengenai hal-hal kerohanian yang dilaluinya di atas air
tasik. Beliau berkata begitu dengan niat hendak menunjukkan kelebihannya kepada
orang lain yang ia dapat menguasai air (seperti Nabi Isa boleh berjaian di atas
air). Rabiah Al Adawiyah berkata, “Hassan, buanglah perkara yang sia-sia itu
jika kamu benar-benar hendak memisahkan diri dari perhimpunan aulia’ Allah.
Kenapa kita tidak terbang saja di udara?” Rabiah Al Adawiyah berkata sedemikian
kerana dia boleh berbuat demikian dan itulah salah satu karamah yang Allah
kurniakan kepada beliau tetapi Hassan tidak boleh berbuat seperti itu.
Rabiah berkata lagi, “Ketahuilah bahawa apa sahaja yang kamu boleh buat,
ikan pun boleh buat dan inikan aku boleh terbang, lalat pun boleh terbang.
Buatlah suatu yang lebih dari perkara luar biasa itu. Carilah ianya dalam
ketaatan dan sopan santun terhadap Allah.”
Cintakan makhluk pada pendapat Rabiah Al Adawiyah tidak akan mewujudkan
kebahagiaan yang abadi untuk seorang insan kerana ia tidak kekal. Cintakan
makhluk seringkali membuatkan seseorang itu kecewa, merana, menderita dan
terseksa. Oleh itu, tidak ada suatu cinta pun yang dapat membuahkan kebahagiaan
dan kenikmatan yang kekal abadi kecuali cinta kepada Pencipta makhluk itu sendiri.
Bahkan Rabiah Al Adawiyah sentiasa menangis. Air matanya terlalu mudah tumpah
walaupun kesalahan yang dilakukan tidaklah seberat mana, cuma lalai atau lupa
pada Allah sedetik sahaja tetapi dirasakan terlalu besar dosanya. Ada orang bertanya kenapa
Rabiah Al Adawiyah mudah menangis? Rabiah menjawab, “Aku takut berpisah dengan
Allah walau sedetik pun dan aku tidak boleh hidup tanpa Dia. Aku takut Tuhan
akan berkata kepadaku tatkala menghembuskan nafasku yang terakhir, jauhkan dia
dari-Ku kerana dia tidak layak berada di majlis-Ku.”
Kehidupan Rabiah Al Adawiyah terlalu miskin dan zuhud. Di dalam rumah
beli¬au hanya terdapat sebuah balang yang mengandungi air minum dan wuduk,
sebiji bata sebagai bantal dan sehelai tikar buruk sebagai alas tempat tidur.
Melihatkan keadaan beliau yang terlalu dhaif, orang pun bertanya kepadanya,
“Kenapa kamu hidup begini, sedangkan kamu mempunyai ramai teman yang hidup kaya
raya dan mereka tentu boleh membantumu?”
Rabiah Al Adawiyah berkata, “Aku malu meminta perkara dunia dari sesiapa
pun yang bukan milik mereka kerana perkara-perkara itu adalah amanah Allah
kepada mereka dan Allah jua memiliki segala-galanya. Bahkan aku lebih senang
hidup dalam keadaan begini tanpa sibuk memikirkan soal-soal dunia yang bersifat
sementara.”
Sungguhpun keadaan rumahnya begitu, ia tetap menjadi kunjungan orang ramai
dari segenap lapisan masyarakat dan secara tidak langsung merupakan sebuah
sekolah untuk mempelajari “Al Hikmah” kerana orang ramai dapat menilai diri
sendiri dari nasihat-nasihat beliau. Mereka juga datang untuk mempelajari
ilmu-ilmu yang lain seperti feqah, tasawuf, ilmu jiwa dan lain-lain.
Antara doa Rabiah Al Adawiyah yang termasyhur ketika beliau bercakap-cakap
dengan Tuhan dan tatkala merintih di waktu sunyi berbunyi: “Tuhanku, apa saja
yang Engkau hendak kurniakan kepadaku berkenaan dunia, berikanlah kepada
musuhku dan apa saja kebaikan yang Engkau hendak kurniakan kepadaku berkenaan
akhirat, berikanlah kepada orang-orang yang beriman, kerana aku hanya hendakkan
Engkau kerana Engkau. Biarlah aku tidak dapat syurga atau neraka. Aku hendak
pandangan Engkau padaku sahaja. Doaku pada-Mu ialah sepanjang hayatku, berilah
aku dapat mengingati-Mu dan apabila mati kelak berilah aku dapat memandang-Mu.”
Rabi’ah dengan pencuri
Pada suatu malam ketika Rabi’ah sedang solat di sebuah pertapaan, ia merasa
sangat letih sehingga ia jatuh tertidur. Sedemikian nyenyak tidurnya sehingga
ketika matanya berdarah tertusuk alang-alang dari tikar yang ditidurnya, ia
sama sekali tidak menyedarinya.
Seorang pencuri masuk menyelinap ke dalam pertapaan itu dan mengambil cadar
Rabi’ah. Ketika hendak keluar dari tempat itu didapatinya bahawa jalan keluar
telah tertutup. Dilepaskannya cadar itu dan ditinggalkannya tempat itu dan
ternyata jalan keluar telah terbuka kembali. Cadar Rabi’ah diambilnya lagi,
tetapi jalan jalan keluar tertutup kembali. Sekali lagi dilepaskannya cadar
itu. Tujuh kali perbuatan seperti itu diulanginya. Kemudian terdengarlah oleh
sebuah suara dari sudut pertapaan itu.
“Hai manusia, tiada gunanya engkau mencuba-cuba. Sudah bertahun-tahun
Rabi’ah mengabdikan kepada Kami. Syaitan sendiri tidak berani datang
menghampirinya. Jadi betapakah seorang pencuri memiliki keberanian hendak
mencuri cadarnya? Pergilah dari sini hai manusia jahanam! Tiada gunanya engkau
mencuba-cuba lagi. Jika seorang sahabat sedang tertidur maka Sang Sahabat
bangun dan menjaganya.”
Rabi’ah dengan roti untuk tetamu
Dua orang pemuka agama datang mengunjungi Rabi’ah dan keduanya merasa lapar.
“Mudah-mudahan Rabi’ah akan memberikan makanan kepada kita,” mereka berkata.
“Makanan yang diberikan oleh Rabi’ah pasti diperolehi secara halal.”
Ketika mereka duduk, di depan mereka telah terhampar safrah dan di atasnya
ada dua potong roti. Melihat hal itu mereka sangat gembira. Tetapi di saat itu
pula seorang pengemis datang dan Rabi’ah memberikan kedua potong roti itu
kepadanya. Kedua pemuka agama itu sangat kecewa, namun mereka tidak berkata
apa-apa. Tidak berapa lama kemudian masuklah seorang pelayan wanita membawakan
beberapa buah roti yang masih panas.
“Majikanku telah menyuruhku menghantarkan roti-roti ini kepadamu,” pelayan
itu menjelaskan.
Rabi’ah mengira-ngira roti tersebut. Semua berjumlah lapan belas potong.
“Mungkin roti-roti ini bukan untukku,” Rabi’ah berkata.
Pelayan itu berusaha meyakinkan Rabi’ah namun sia-sia saja. Akhirnya
roti-roti itu dibawanya kembali. Sebenarnya apa yang telah terjadi adalah
bahawa pelayan itu telah mengambil dua potong untuk dirinya sendiri. Ia meminta
dua potong lagi kepada majikannya kemudian ia kembali ke tempat Rabi’ah.
Roti-roti itu dikira oleh Rabi’ah, ternyata semuanya ada dua puluh potong dan
setelah itu barulah ia mahu menerimanya.
“Roti-roti ini memang telah dikirim oleh majikanmu untukku,” kata Rabi’ah.
Kemudian Rabi’ah memberikan roti-roti tersebut kepada kedua tetamunya tadi.
Keduanya makan namun masih dalam keadaan hairan.
“Apakah rahsia di sebalik semua ini?” Mereka bertanya kepada Rabi’ah. “Kami
ingin memakan rotimu sendiri tetapi engkau memberikannya kepada seorang
pengemis. Kemudian engkau mengatakan kepada
Rabi’ah menjawab: “Sewaktu kamu datang, aku tahu bahawa kamu sedang lapar.
Aku berkata kepada diriku sendiri, betapa aku menawarkan untuk memberikan dua
potong roti kepada dua orang pemuka yang terhormat? Itulah sebabnya mengapa
ketika pengemis tadi datang, aku segera memberikan dua potong roti itu
kepadanya dan berkata kepada Allah Yang Maha Besar, “Ya Allah, Engkau telah
berjanji bahawa Engkau akan memberikan ganjaran sepuluh kali dan janji-Mu itu
kupegang teguh. Kini telah kusedekahkan dua potong roti untuk menyenangkan-Mu,
semoga Engkau berkenan untuk memberikan dua puluh potong sebagai imbalannya.
Ketika kelapan belas potong roti itu dihantarkan kepadaku, tahulah aku bahawa
sebahagian darinya telah dicuri atau roti-roti itu bukan untuk disampaikan
kepadaku.”
Rabi’ah dengan sup bawang
Pada suatu hari pelayan wanita Rabi’ah hendak memasak sup bawang kerana
telah beberapa lamanya mereka tidak memasak makanan. Ternyata mereka tidak
mempunyai bawang. Pelayannya berkata kepada Rabi’ah: “Aku hendak meminta bawang
kepada tetangga sebelah.”
Tetapi Rabi’ah melarang: “Telah empat puluh tahun aku berjanji kepada Allah
tidak akan meminta sesuatu pun kecuali kepada-Nya. Lupakanlah bawang itu.”
Setelah Rabi’ah berkata demikian, seekor burung meluncur dari angkasa,
membawa bawang yang telah terkupas di paruhnya, lalu menjatuhkan ke dalam
belanga.
Menyaksikan peristiwa itu Rabi’ah berkata: “Aku takut jika semua ini adalah
seperti tipu muslihat.”
Rabi’ah tidak mahu menyentuh sup bawang tersebut. Hanya roti sajalah yang
dimakannya.
Rabi’ah dengan binatang liar yang jinak
Pada suatu hari Rabi’ah pergi ke gunung. Ia segera dikerumuni oleh sekawan
rusa, kambing hutan, ibeks (sebangsa kambing hutan yang bertanduk panjang) dan
keldai-keldai liar. Binatang-binatang ini menatap Rabi’ah dan hendak
menghampirinya. Tanpa disangka-sangka Hasan al-Basri datang pula ke tempat itu.
Ketika melihat Rabi’ah, ia segera datang menghampirinya. Tetapi setelah melihat
kedatangan Hasan, binatang-binatang tadi lari ketakutan dan meninggalkan
Rabi’ah. Hal ini membuat Hasan kecewa.
“Mengapakah binatang-binatang itu menghindari dari diriku sedang mereka begitu
jinak terhadapmu?” Hasan bertanya kepada Rabi’ah.
“Apakah yang telah engkau makan pada hari ini?” Rabi’ah balik bertanya.
“Sup bawang.”
“Engkau telah memakan lemak binatang-binatang itu. Tidak menghairankan jika
mereka lari ketakutan melihatmu.”
Rabi’ah menegur Hasan
Di hari lain, Rabi’ah melalui hadapan rumah Hasan al basri. Ketika itu Hasan
termenung di jendela. Ia sedang menangis dan air matanya menitis jatuh mengenai
pakaian Rabi’ah. Mula-mula Rabi’ah mengira hujan turun, tetapi setelah ia
melihat ke atas dan terlihat olehnya Hasan, sedarlah ia bahawa yang jatuh
menitis itu adalah air mata Hasan.
“Guru, menangis adalah petanda dari kelesuan rohani.” Ia berkata kepada
Hasan. “Tahanlah air matamu. Jika tidak, di dalam dirimu akan menggelora
samudera sehingga engkau tidak dapat mencari dirimu sendiri kecuali pada
seorang Raja Yang Maha Perkasa.”
Teguran itu tidak sedap didengar oleh Hasan, namun ia tetap menahan diri. Di
belakang hari ia bertemu degan Rabi’ah di tepi sebuah danau. Hasan
menghamparkan sejadahnya di atas air dan berkata kepada Rabi’ah, “Rabi’ah,
marilah kita melakukan solat dua rakaat di atas air!”
Rabi’ah menjawab: “Hasan, jika engkau memperlihatkan karamah-karamahmu di
tempat ramai ini, maka karamahmu itu haruslah yang tidak dimiliki oleh orang-orang
lain.”
Sesudah berkata begitu Rabi’ah melemparkan sejadahnya ke udara, kemudian ia
melompat ke atasnya dan berseru kepada Hasan: “Naiklah ke mari Hasan agar
orang-orang dapat menyaksikan kita.”
Hasan yang belum mencapai kepandaian seperti itu tidak dapat berkata
apa-apa. Kemudian Rabi’ah cuba
menghiburkannya dan berkata: “Hasan, yang engkau lakukan tadi dapat pula
dilakukan oleh seekor ikan dan yang kulakukan tadi dapat pula dilakukan oleh
seekor lalat. Yang Terpenting bukanlah kemahiran-kemahiran seperti itu. Kita
harus mengabdikan diri kepada Hal-hal Yang Terpenting itu.”
Rabi’ah dengan lampu
Pada suatu malam Hasan beserta dua tiga orang sahabatnya berkunjung ke rumah
Rabi’ah. Tetapi rumah itu gelap, tiada berlampu. Mereka merasa senang
seandainya pada ketika itu ada lampu. Maka Rabi’ah meniup jari tangannya.
Sepanjang malam itu hingga fajar, jari Rabi’ah memancarkan cahaya terang
benderang bagaikan lampu dan mereka duduk di dalam cahaya.
Jika ada seseorang yang bertanya: “Bagaimanakah hal seperti itu boleh
terjadi?” Maka jawapanku adalah: “Persoalannya adalah sama dengan tangan Musa.”
Jika ia kemudian menyangkal: “Tetapi Musa adalah seorang Nabi!” Maka jawapanku:
“Barangsiapa yang mengikuti jejak Nabi akan mendapatkan sedikit kenabian,
seperti yang pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad sendiri.”
“Barangsiapa menolak harta benda yang tidak diperolehi secara halal,
walaupun harganya satu sen, sesungguhnya ia telah mencapai suatu tingkai
kenabian.” Nabi Muhammad juga pernah berkata: “Sebuah mimpi yang benar adalah
satu perempat puluh dari kenabian.”
Nasihat Rabi’ah
Pada suatu ketika Rabi’ah mengirimkan sepotong lilin, sebuah jarum dan
sehelai rambut kepada Hasan, dengan pesanan, “Hendaklah engkau seperti sepotong
lilin, sentiasa menerangi dunia walaupun diri sendiri terbakar, Hendaklah
engkau menjadi sebuah jarum, sentiasa berbakti walaupun tidak memiliki apa-apa.
Apabila kedua hal itu telah engkau lakukan maka bagimu seribu tahun
hanyalah seperti rambut ini.”
“Apakah engkau mengkehendaki agar kita berkahwin?” tanya Hasan kepada
Rabi’ah.
“Tali perkahwinan hanyalah untuk orang-orang yang memiliki keakuan. Di sini
keakuan telah hilang, telah menjadi tiada dan hanyalah ada melalui Dia. Aku
adalah milik-Nya. Aku hidup di bawah naungan-Nya. Engkau harus melamar diriku
daripada-Nya, buka secara langsung kepada diriku sendiri.”
“Bagaimanakah engkau telah bertemu dengan rahsia ini, Rabi’ah?” tanya Hasan.
“Aku lepaslah segala yang telah kuperolehi kepada-Nya,” jawab Rabi’ah.
“Bagaimana engkau telah dapat mengenal-Nya?”
“Hasan, engkau lebih suka bertanya, tetapi aku lebih suka menghayati,” jawab
Rabi’ah.
Rabi’ah menasihati orang sakit
Suatu hari Rabi’ah bertemu dengan seseorang yang kepalanya dibalut.
“Mengapa engkau membalut kepalamu?” tanya Rabi’ah.
“Kerana aku merasa pening,” jawab lelaki itu.
“Berapa umurmu?” Rabi’ah bertanya lagi.
“Tiga puluh tahun,” jawabnya.
“Apakah engkau banyak menderita sakit dan merasa susah di dalam hidupmu?”
“Tidak,” jawabnya lagi.
“Selama tiga puluh tahun engkau menikmati hidup yang sihat, engkau tidak
pernah mengenakan selubung kesyukuran, tetapi baru malam ini saja kepalamu
terasa sakit engkau telah mengenakan selubung keluh kesah,” kata Rabi’ah.
Rabi’ah mengirim selimut
Suatu hari Rabi’ah menyerahkan wang empat dirham kepada seorang lelaki.
“Belikanku sehelai selimut kerana aku tidak mempunyai pakaian lagi,” kata
Rabi’ah.
Lelaki itu pun pergi, tetapi tidak lama kemudian ia kembali dan bertanya
kepada Rabi’ah: “Selimut berwarna apakah yang harus kubeli?”
“Apa peduliku dengan warna? Pulangkan wang itu kepadaku kembali,” Rabi’ah
berkata.
Rabi’ah dengan keasyikannya
Suatu hari di musim bunga, Rabi’ah memasuki tempat tinggalnya, kemudian
menjenguk keluar kerana pelayannya berseru: “Ibu, keluarlah dan saksikanlah apa
yang telah dilakukan oleh Allah Maha Pencipta.”
“Lebih baik engkaulah yang masuk ke mari,” Rabi’ah menjawab, “Dan
saksikanlah Allah Pencipta itu sendiri. Aku sedemikian asyik menatap Allah Yang
Maha Pencipta sehingga aku tidak menghiraukan lagi terhadap
ciptaan-ciptaan-Nya.”
Rabi’ah memotong daging
Beberapa orang datang mengunjungi Rabi’ah dan menyaksikan ia sedang memotong
seketul daging dengan giginya.
“Apakah engkau tidak mempunyai pisau untuk memotong daging itu? Mereka
bertanya.
“Aku tidak pernah menyimpan pisau di dalam rumah ini kerana takut terluka,”
jawab Rabi’ah.
Rabi’ah berpuasa
Rabi’ah berpuasa selama seminggu. Sepanjang berpuasa itu ia tidak makan dan
tidak tidur. Setiap malam ia asyik mengerjakan solat dan berdoa. Lapar yang
dirasakannya sudah tidak tertahan lagi. Seorang tetamu masuk ke rumah Rabi’ah
membawa semangkuk makanan. Rabi’ah menerima makanan itu. Kemudian ia pergi
mengambil lampu. Ketika itu ternyata seekor kucing telah melanggar mangkuk itu.
“Akan kuambil sekendi air dan aku akan berbuka puasa,” Rabi’ah berkata.
“Ketika ia kembali dengan sekendi air ternyata lampu telah padam. Ia hendak
meminum air itu dalam kegelapan tetapi kendi itu terlepas dari tangannya dan
jatuh, pecah bertaburan. Rabi’ah meratap dan mengeluh sedemikian menyayat hati
seolah-olah sebahagian rumahnya telah dimakan api.
Rabi’ah menangis: “Ya Allah, apakah yang telah Engkau perbuat terhadap
hamba-Mu yang tidak berdaya ini?”
“Berhati-hatilah Rabi’ah,” sebuah seruan terdengar di telinganya. “Janganlah
engkau sampai mengharapkan bahawa Aku akan memberikan semua kenikmatan dunia
kepadamu sehingga pengabdianmu kepada-Ku lenyap dalam hatimu. Pengabdian
kepada-Ku dan kenikmatan-kenikmatan dunia tidak dapat dipadukan di dalam satu
hati. Rabi’ah, engkau menginginkan suatu hal sedang Aku menginginkan hal yang
lain. Hasrat-Ku dan hasratmu tidak dapat dipadukan di dalam satu hati.”
Setelah mendengar celaan ini, Rabi’ah berkata: “Kulepaskan hatiku dari dunia
dan kubuang segala keinginan dalam hatiku sehingga selama tiga puluh tahun yang
terakhir ini, apabila melakukan solat, maka aku menganggapnya sebagai solatku
yang terakhir.”
Rabi’ah diuji lelaki
Beberapa orang mengunjungi Rabi’ah untuk mengujinya. Mereka ingin
memerangkap Rabi’ah dengan mengucapkan kata-kata yang tidak difikirkannya
terlebih dahulu.
“Segala macam kebajikan telah dibahagikan kepada setiap kaum lelaki. Mahkota
kenabian telah diletakkan di kepala kaum lelaki. Tali kebangsawanan telah
diikatkan di pinggang kaum lelaki. Tidak ada seorang perempuan pun yang telah
diangkat oleh Allah menjadi Nabi,” mereka berkata.
“Semua ini memang benar. Tetapi kesombongan, memuja diri sendiri dan ucapan:
“Bukankah aku Tuhanmu Yang Maha Tinggi” tidak pernah bertapak di dalam dada
perempuan. Dan tidak ada seorang perempuan pun yang menghitung. Semua ini
adalah bahagian kaum lelaki.”
Rabi’ah sakit tenat
Ketika Rabi’ah menderita sakit yang tenat, ditanya kepadanya apakah penyebab
penyakitnya itu.
“Aku telah melihat syurga dan Allah telah menghukum diriku,” jawab Rabi’ah.
Kemudian Hasan al-Basri datang untuk mengunjungi Rabi’ah.
“Aku mendapati salah seorang pemuka kota Basrah berdiri menunggu di pintu
pertapaan Rabi’ah. Ia hendak memberikan sebekas emas kepada Rabi’ah dan ia
menangis. Aku bertanya kepadanya: “Mengapakah engkau menangis?” Jawabnya: “Aku
menangis kerana wanita solehah zaman ini. Kerana jika berkah hidupnya tidak ada
lagi, celakalah umat manusia. Aku telah membawakan wang sekadar untuk membiayai
perawatannya tetapi aku khuatir kalau-kalau Rabi’ah tidak mahu menerimanya.
Pujuklah Rabi’ah agar ia mahu menerima wang ini.”
Maka masuklah Hasan ke dalam pertapaan Rabi’ah dan memujuknya untuk menerima
wang itu. Rabi’ah memandang Hasan dan berkata, “Dia telah menafkahi orang-orang
yang menghujah-Nya. Apakah Dia tidak akan menafkahi orang-orang yang
mencintai-Nya?” Sejak aku mengenal-Nya, aku telah berpaling dari manusia
ciptaan-Nya. Aku tidak tahu apakah kekayaan seseorang itu halal atau tidak,
maka betapakah aku dapat menerima pemberiannya? Pernah aku menjahit pakaian
yang koyak dengan diterangi lampu dunia. Beberapa saat hatiku lalai tetapi
akhirnya akupun sedar. Pakaian itu kukoyak semula kepada bahagian-bahagian yang
telah kujahit itu dan hatiku menjadi lega. Mintalah kepadanya agar ia tidak
membuat hatiku lalai lagi.”
Rabi’ah yang sakit menerima kunjungan sahabat
Abdul Wahid Amir mengisahkan bahawa ia bersama Sufyan ats-Tsauri menziarahi
Rabi’ah ketika sakit tetapi kerana segan mereka tidak berani menegurnya.
“Engkaulah yang berkata,” kataku kepada Sufyan.
“Jika engkau berdoa nescaya penderitaanmu ini akan hilang.”
Rabi’ah menjawab: “Tidakkah engkau tahu siapa yang menhendaki aku menderita
seperti ini? Bukankah Allah?”
“Ya,” Sufyan membenarkan.
“Betapa mungkin, engkau menyuruhku untuk memohon hal yang bertentangan
dengan kehendak-Nya? Bukankah tidak baik apabila kita menentang Sahabat kita
sendiri?”
“Apakah yang engkau inginkan, Rabi’ah?” Sufyan bertanya pula.
“Sufyan, engkau adalah seorang yang terpelajar! Tetapi engkau bertanya
demikian? Demi kebesaran Allah telah dua belas tahun lamanya aku menginginkan
buah kurma segar. Engkau tentu tahu bahawa di kota Basrah buah kurma sangat
murah harganya, tetapi hingga saat ini aku tidak pernah memakannya. Aku ini
hanyalah hamba-Nya dan apakah hak seorang hamba untuk menginginkan sesuatu?
Jika aku menginginkan sesuatu sedang Allah tidak menginginkannya, maka kafirlah
aku. Engkau harus menginginkan segala sesuatu yang diinginkan-Nya semata-mata
agar engkau dapat menjadi hamba-Nya yang sejati. Tetapi lainlah persoalannya
jika Tuhan sendiri memberikannya.”
Sufyan terdiam. Kemudian ia berkata kepada Rabi’ah: “Kerana aku tidak dapat
berbicara tentang dirimu, maka engkaulah yang berbicara tentang diriku.”
“Engkau adalah manusia yang baik kecuali dalam satu hal: Engkau mencintai
dunia. Engkau pun suka membacakan hadis-hadis.” Yang terakhir ini dikatakan
Rabi’ah dengan maksud bahawa membacakan hadis-hadis tersebut adalah suatu
perbuatan yang mulia.
Sufyan merasa sangat susah hati dan memohon: “Ya Allah, kasihilah aku!”
Tetapi Rabi’ah mencelanya dengan berkata: “Tidak malukah engkau mengharapkan
kasih Allah sedangkan engkau sendiri tidak mengasihi-Nya?”
Rabi’ah menasihati Malik bin Dinar
Malik bin Dinar mengisahkan sebagai berikut: Ketika mengunjungi Rabi’ah,
kulihat dia menggunakan gayung pecah untuk minum dan bersuci, sehelai tikar dan
sebiji batu-bata yang kadang-kadang digunakannya sebagai bantal. Menyaksikan
semua itu hatiku menjadi sedih.
“Aku mempunyai ramai kawan yang kaya, jika engkau menghendaki sesuatu akan
kumintakan kepada mereka,” aku berkata kepada Rabi’ah.
“Malik, engkau telah melakukan kesalahan yang besar. Bukankah yang menafkahi
aku dan yang menafkahi mereka adalah satu?’ soal Rabi’ah.
“Ya,” jawabku.
“Apakah yang memberi kepada orang-orang miskin itu lupa kepada orang-orang
miskin kerana kemiskinan mereka? Dan apakah Dia ingat kepda orang-orang yang
kaya kerana kekayaan mereka?” tanya Rabi’ah.
“Tidak,” jawabku.
“Jadi, kerana Dia mengetahui keadaanku, bagaimanakah aku harus
mengingatkan-Nya? Beginilah yang dikehendaki-Nya, dan aku menghendaki seperti
yang dikehendaki-Nya,” Rabi’ah menerangkan lagi.
Rabi’ah dengan ucapan-ucapan sahabatnya
Pada suatu hari, Hasan al-Basri, Malik bin Dinar dan Syaqiq al-Balkhi
mengunjungi Rabi’ah yang sedang terbaring dalam keadaan sakit.
“Seorang manusia tidak dapat dipercayai kata-katanya jika ia tidak tabah
menanggung ujian dari Allah,” kata Hasan memulai percakapannya.
“Kata-katamu itu menunjukkan engkau seorang yang ego,” Rabi’ah membalas.
Kemudian giliran Syaqiq pula berkata: “Seorang manusia itu tidak dapat
dipercayai kata-katanya jika ia tidak bersyukur atas pemberian Allah.”
“Ada perkara yang lebih baik daripada itu,” jawab Rabi’ah.
Malik bin Dinar pula berkata: “Seorang manusia tidak dapat dipercayai
kata-katanya jika ia tidak merasa bahagia ketika menerima ujian Allah.”
“Masih ada yang lebih baik daripada itu,” Rabi’ah mengulangi jawapannya.
“Jika demikian, katakanlah kepada kami,” mereka mendesak Rabi’ah.
Maka Rabi’ah berkata: “Seorang manusia tidak dapat dipercayai kata-katanya
jika ia tidak lupa kepada ujian dari Allah, ketika ia merenungkan-Nya.”
Rabi’ah dengan seorang cendikiawan
Seorang cerdik pandai yang terkemuka di kota Basrah mengunjungi Rabi’ah yang sedang
terbaring sakit. Sambil duduk di sisi Rabi’ah ia mencaci maki dunia.
Rabi’ah berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau sangat mencintai dunia ini,
Jika engkau tidak mencintai dunia tentu engkau tidak akan menyebut-nyebutnya
berulangkali seperti ini. Seorang pembelilah yang sentiasa mencela
barang-barang yang hendak dibelinya. Jika engkau tidak merasa berkepentingan
dengan dunia ini tentulah engkau tidak akan memuji-muji atau
memburuk-burukkannya. Engkau menyebut-nyebut dunia ini seperti kata peribahasa,
barangsiapa mencintai sesuatu hal maka ia sering menyebut-nyebutnya.”
Saat Rabi’ah meninggal dunia
Ketika tiba saatnya Rabi’ah harus meninggalkan dunia fana’ ini, orang-orang
yang menziarahinya meninggalkan kamarnya dan menutup pintu kamar itu dari luar.
Setelah itu mereka mendengar suara yang berkata: “Wahai jiwa yang damai,
kembalilah kepada Tuhanmu dengan berbahagia.”
Beberapa saat kemudian tidak ada lagi suara yang terdengar dari kamar
Rabi’ah. Mereka lalu membuka pintu kamar itu dan mendapatkan Rabi’ah telah
meninggal dunia.
Setelah Rabi’ah meninggal dunia, ada yang bertemu dengannya dalam sebuah
mimpi. Kepadanya ditanyakan.
“Bagaimanakah engkau menghadapi Munkar dan Nakir?”
Rabi’ah menjawab: “Kedua malaikat itu datang kepadaku dan bertanya:
“Siapakah Tuhanmu?” Aku menjawab: “Pergilah kepada Tuhanmu dan katakan
kepada-Nya: “Di antara beribu-ribu makhluk yang ada, janganlah Engkau melupakan
seorang wanita tua yang lemah. Aku hanya memiliki Engkau di dunia yang luas,
tidak pernah lupa kepada-Mu, tetapi mengapakah Engkau mengirimkan utusan
sekadar menanyakan “Siapakah Tuhanmu” kepadaku?”
Doa-doa Rabi’ah
“Ya Allah, apa pun yang akan Engkau kurniakan kepadaku di dunia ini,
berikanlah kepada musuh-musuh-mu, dan apa pun yang akan Engkau kurniakan
kepadaku di akhirat nanti, berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu, kerana Engkau
sendiri cukuplah bagiku.”
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu kerana takut kepada neraka, bakarlah aku di
dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu kerana mengharapkan syurga,
campakkanlah aku dari dalam syurga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau
semata, jangan Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi
kepadaku.”
“Ya Allah, segala jerih payahku dan semua hasratku di antara segala
kesenangan dunia ini adalah untuk mengingati Engkau. Dan di akhirat nanti, di
antara segala kesenangan akhirat, adalah untuk berjumpa dengan-Mu. Begitulah
halnya diriku, seperti yang telah kukatakan. Kini, perbuatlah seperti yang
Engkau kehendaki.”
Abdul Wahid Amir mengisahkan bahawa ia bersama
Sufyan ats-Tsauri menziarahi Rabi'ah ketika sakit tetapi kerana segan mereka
tidak berani menegurnya.
"Engkaulah yang berkata," kataku kepada Sufyan.
"Jika engkau berdoa nescaya penderitaanmu ini akan hilang."
Rabi'ah menjawab: "Tidakkah engkau tahu siapa yang menghendaki aku menderita seperti ini? Bukankah Allah?" "Ya," Sufyan membenarkan.
Betapa mungkin, engkau menyuruhku untuk memohonkan hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya? Bukankah tidak baik apabila kita menentang Sahabat kita sendiri?"
"Apakah yang engkau inginkan, Rabi'ah?" Sufyan bertanya pula.
"Sufyan, engkau adalah seorang yang terpelajar! Tetapi mengapa engkau bertanya demikian? Demi kebesaran Allah, telah dua belas tahun lamanya aku menginginkan buah kurma segar. Engkau tentu tahu bahawa di kota Basrah buah kurma sangat murah harganya, tetapi hingga saat ini aku tidak pernah memakannya. Aku ini hanyalah hamba-Nya dan apakah hak seseorang hamba untuk menginginkan sesuatu? Jika aku menginginkan sesuatu sedang Allah tidak menginginkannya, maka kafirlah aku. Engkau harus menginginkan segala sesuatu yang diinginkan-Nya semata-mata agar engkau dapat menjadi hamba-Nya yang sejati. Tetapi lainlah persoalannya jika Tuhan sendiri yang memberikannya."
Sufyan terdiam. Kemudian ia berkata kepada Rabi'ah: "Kerana aku tidak dapat berbicara mengenai dirimu, maka engkaulah yang berbicara mengenai diriku."
"Engkau adalah manusia yang baik kecuali dalam satu hal: Engkau mencintai dunia. Engkau pun suka membacakan hadith-hadith." Yang terakhir ini dikatakan Rabi'ah dengan maksud bahawa membacakan hadith-hadith tersebut adalah suatu perbuatan yang mulia.
Sufyan merasa sangat susah hati dan memohon: "Ya Allah, kasihilah aku!"
Tetapi Rabi'ah mencelanya dengan berkata: "Tidak malukah engkau mengharapkan kasih Allah sedangkan engkau sendiri tidak mengasihi-Nya
"Engkaulah yang berkata," kataku kepada Sufyan.
"Jika engkau berdoa nescaya penderitaanmu ini akan hilang."
Rabi'ah menjawab: "Tidakkah engkau tahu siapa yang menghendaki aku menderita seperti ini? Bukankah Allah?" "Ya," Sufyan membenarkan.
Betapa mungkin, engkau menyuruhku untuk memohonkan hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya? Bukankah tidak baik apabila kita menentang Sahabat kita sendiri?"
"Apakah yang engkau inginkan, Rabi'ah?" Sufyan bertanya pula.
"Sufyan, engkau adalah seorang yang terpelajar! Tetapi mengapa engkau bertanya demikian? Demi kebesaran Allah, telah dua belas tahun lamanya aku menginginkan buah kurma segar. Engkau tentu tahu bahawa di kota Basrah buah kurma sangat murah harganya, tetapi hingga saat ini aku tidak pernah memakannya. Aku ini hanyalah hamba-Nya dan apakah hak seseorang hamba untuk menginginkan sesuatu? Jika aku menginginkan sesuatu sedang Allah tidak menginginkannya, maka kafirlah aku. Engkau harus menginginkan segala sesuatu yang diinginkan-Nya semata-mata agar engkau dapat menjadi hamba-Nya yang sejati. Tetapi lainlah persoalannya jika Tuhan sendiri yang memberikannya."
Sufyan terdiam. Kemudian ia berkata kepada Rabi'ah: "Kerana aku tidak dapat berbicara mengenai dirimu, maka engkaulah yang berbicara mengenai diriku."
"Engkau adalah manusia yang baik kecuali dalam satu hal: Engkau mencintai dunia. Engkau pun suka membacakan hadith-hadith." Yang terakhir ini dikatakan Rabi'ah dengan maksud bahawa membacakan hadith-hadith tersebut adalah suatu perbuatan yang mulia.
Sufyan merasa sangat susah hati dan memohon: "Ya Allah, kasihilah aku!"
Tetapi Rabi'ah mencelanya dengan berkata: "Tidak malukah engkau mengharapkan kasih Allah sedangkan engkau sendiri tidak mengasihi-Nya
ALQUTB SYEKH SAMAN ALMADANI RA. (AS-SAYID MUHAMMAD BIN ABDUL KARIM ALHASANI)
tarekat sammaniyah
Semula, ia belajar Tarekat Khalwatiyyah di Damaskus. Lama-kelamaan, ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik zikir, wirid, dan ajaran tasawuf lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan Allah SWT yang akhirnya disebut sebagai Tarekat Sammaniyah. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa Tarekat Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah.
Demi memperoleh ilmu pengetahuan, ia rela menghabiskan usianya dengan melakukan berbagai perjalanan. Beberapa negeri yang pernah ia singgahi untuk menimba ilmu di antaranya adalah Iran, Syam, Hijaz, dan Transoxiana (wilayah Asia Tengah saat ini). Karyanya yang paling terkenal adalah kitab Allnsab. Ia juga mengarang buku-buku lain, seperti Mujamu al-Masyayikh, Tazyilul Tarikh Baghdad, dan Tarikh Marv.
Kemuliaan
Syekh Muhammad Samman dikenal sebagai tokoh tarekat yang memiliki banyak karamah. Baik kitab Manaqib Syaikh al-Waliy al-Syahir Muhammad Saman maupun Hikayat Syekh Muhammad Saman, keduanya mengungkapkan sosok Syekh Samman.
Sebagaimana guru-guru besar tasawuf, Syekh Muhammad Samman terkenal akan kesalehan, kezuhudan, dan kekeramatannya. Konon, ia memiliki karamah yang sangat luar biasa. "Ketika kaki diikat sewaktu di penjara, aku melihat Syekh Muhammad Samman berdiri di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku dan pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus," kata Abdullah al-Basri. Padahal, kata seorang muridnya, ketika itu Syekh Samman berada di kediamannya sendiri.
Adapun perihal awal kegiatan Syekh Muhammad Samman dalam tarekat dan hakikat, menurut Kitab Manaqib. diperolehnya sejak bertemu dengan Syekh Abdul Qadir Jailani.
Suatu ketika, Syekh Muhammad Samman berkhalwat (menyendiri) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu. datang Syekh Abdul Qadir Jailani yang membawakan pakaian jubah putih. "Ini pakaian yang cocok untukmu." Ia kemudian memerintahkan Syekh Muhammad Samman agar melepas pakaiannya dan mengenakan jubah putih yang dibawanya. Konon, Syekh Muhammad Samman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah dari Rasulullah SAW untuk menyebarkannya kepada penduduk Kota Madinah.
Wa Allahu Alam
Syaihk Abdul Qadir Al-JailaniSayyidul Auliya' Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir di srilangka Ceylon ceiland jailan, selatan Laut Kaspia pada 470 H/1077 M sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab الذيل على طبق الحنابلة Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali.Kelahiran, Silsilah dan Nasab
Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-Ghauts al_A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani Amoli. Riwayat pertama yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat kedua lebih dipercaya oleh ulama Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a ,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami rah.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham r.a sebagi berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu"Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut : Dari Ayahnya(Hasani)Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAWDari ibunya(Husaini) : Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul 'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAWMasa Muda
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan srilangka menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa'ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.Murid
Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqh terkenal al Mughni.Perkataan Ulama tentang Beliau
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A'lamin Nubala XX/442).Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam salat fardhu."Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.Tentang Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri' Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya)."Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja'far al Adfwi (nama lengkapnya Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi'i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).Karya
Imam Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah."Karya karyanya- Tafsir Al Jilani
- al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
- Futuhul Ghaib.
- Al-Fath ar-Rabbani
- Jala' al-Khawathir
- Sirr al-Asrar
- Asror Al Asror
- Malfuzhat
- Khamsata "Asyara Maktuban
- Ar Rasael
- Ad Diwaan
- Sholawat wal Aurod
- Yawaqitul Hikam
- Jalaa al khotir
- Amrul muhkam
- Usul as Sabaa
- Mukhtasar ulumuddin
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasihat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.Ajaran-ajaranya
Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau." Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat."Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau."( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada seorangpun para kibar masyayikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi".Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidahnya ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.)Awal Kemasyhuran
Al-Jaba'i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, "Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhumKemudian, Syeikh Abdul Qadir melanjutkan, "Aku melihat Rasulallah SAW sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, "anakku, mengapa engkau tidak berbicara?". Aku menjawab, "Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?". Ia berkata, "buka mulutmu". Lalu, beliau meludah 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, "bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik". Setelah itu, aku salat dzuhur dan duduk serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, "buka mulutmu". Ia lalu meludah 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meludah 7 kali seperti yang dilakukan Rasulallah SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulallah SAW. Kemudian, aku berkata, "Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara ma'rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat". Ia kemudian menyitir, "Dan untuk wanita seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis."Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, "Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.Beberapa Kejadian Penting
Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. "Apa ini dan ada apa?" tanyaku. "Rasulallah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, "Wahai Abdul Qadir". Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasulullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meludah ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meludah ke dalam mulutku 3 kali. "Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah SAW?" tanyaku kepadanya. "Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah SAW" jawab beliau.Rasulallah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. "apa ini?" tanyaku. "Ini" jawab Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian". Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.Saat Nabi Khidir As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, "Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, "Engkau tidak akan sabar kepadaku", aku akan berkata kepadamu, "Engkau tidak akan sabar kepadaku". "Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus."Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, "Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad" lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, "Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti".Hubungan Guru dan Murid
Syeikh Abdul Qadir berkata, "Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.- Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
- Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
- Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
- Dua karakter dari Umar yaitu amar ma'ruf nahi munkar.
- Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
- Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepadanya dikatakan:Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulullah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu, Rasulallah berkata, "Laa Ilaaha Illallah" sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.Syeikh Abdul Qadir berkata, "Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut".Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. `
Diriwayatkan oleh Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi bahwa suatu hari ketika Syaikh Abu Yazid al-Busthami sedang dalam perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji, beliau mengunjungi seorang sufi di Bashrah. Secara langsung dan tanpa basa-basi, sufi itu menyambut kedatangan beliau dengan sebuah pertanyaan: “Apa yang anda inginkan hai Abu Yazid?”.Syaikh Abu Yazid pun segera menjelaskan: “Aku hanya mampir sejenak, karena aku ingin menunaikan ibadah haji ke Makkah”.“Cukupkah bekalmu untuk perjalanan ini?” tanya sang sufi.“Cukup” jawab Syaikh Abu Yazid.“Ada berapa?” sang sufi bertanya lagi.“200 dirham” jawab Syaikh Abu Yazid.Sang sufi itu kemudian dengan serius menyarankan kepada Syaikh Abu Yazid: “Berikan saja uang itu kepadaku, dan bertawaflah di sekeliling hatiku sebanyak tujuh kali”.Ternyata Syaikh Abu Yazid masih saja tenang, bahkan patuh dan menyerahkan 200 dirham itu kepada sang sufi tanpa ada rasa ragu sedikitpun. Selanjutnya sang sufi itu mengungkapkan: “Wahai Abu Yazid, hatiku adalah rumah Allah, dan ka’bah juga rumah Allah. Hanya saja perbedaan antara ka’bah dan hatiku adalah, bahwasanya Allah tidak pernah memasuki ka’bah semenjak didirikannya, sedangkan Ia tidak pernah keluar dari hatiku sejak dibangun oleh-Nya”.Syaikh Abu Yazid hanya menundukkan kepala, dan sang sufi itupun mengembalikan uang itu kepada beliau dan berkata: “Sudahlah, lanjutkan saja perjalanan muliamu menuju ka’bah” perintahnya.Syaikh Abu Yazid al-Busthami adalah seorang wali super agung yang sangat tidak asing lagi di hati para penimba ilmu tasawuf, khususnya tasawuf falsafi. Beliau wafat sekitar tahun 261 H. Sedangkan Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi (yang meriwayatkan kisah di atas) adalah juga seorang wali besar (wafat tahun 645 H.) yang telah banyak menganugerahkan inspirasi dan motivasi spiritual kepada seorang wali hebat sekaliber Syaikh Jalaluddin ar-Rumi, penggagas Tarekat Maulawiyah (wafat tahun 672 H.).Melihat Abu Yazid
Seandainya engkau melihat Abu Yazid sekali saja, itu lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allah SWT tujuh puluh kali….Diceritakan bahwa Abu Turab an-Nakhsyabi merasa kagum pada pemuda, lalu ia mendekatinya dan mengerjakan tugas-tugasnya. Sedangkan si pemuda sibuk dengan ibadah. Lalu pada suatu hari Abu Turab berkata kepadanya, “Seandainya engkau melihat Abu Yazid.” Lalu ketika abu Turab berulang-ulang pernyataan, “ Seandainya engkau melihat AbuYazid” kepadanya, sang pemuda menjadi kesal dan langsung berkata, “Celaka kamu, apa yang harus aku perbuat dengan abu Yazid?”Melihat sikapnya, jiwa Abu Turab bergejolak, ia marah dan tidak dapat menahan diri lagi sehingga berkata, “Celakalah engkau, engkau telah menipu Allah SWT. Seandainya engkau melihat Abu Yazid sekali saja, itu lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allah SWT tujuh puluh kali.” Sang pemuda tercengang dengan ucapan Abu Turab dan mengingkarinya dengan bertanya, “Bagaimana bisa demikian?” Abu Turab menjawab, “Celaka kamu, engkau melihat Allah SWT hanya dari sisimu, lalu ia memperlihatkan dirinya-Nya kepadamu sesuai dengan kemampuanmu. Sedangkan jika kamu melihat Abu Yazid di sisi Allah, maka ia akan memperlihatkan diri-Nya sesuai dengan kemampuan Abu Yazid.”Sang pemuda pun memahami perkataan Abu Turab, lalu ia berkata, “Bawa saya kepadanya.” Di akhir kisah, Abu Turab dan sang pemuda berdiri di atas bukit untuk menunggu Abu Yazid keluar dari dalam hutan yang penuh dengan hewan buas. Lalu Abu Yazid melintas di hadapan mereka sambil membawa seekor burung di pundaknya. Maka Abu Turab berkata kepada sang pemuda, “Itu dia Abu Yazid, lihatlah.”Saat sang pemuda melihatnya, seketika itu pula ia pingsan. Lalu Abu Turab menggerak-gerakkan badannya, namun ternyata ia telah meninggal. Maka Abu Turab dan Abu Yazid berusaha menguburkannya. Saat sedang prosesi pemakaman,Abu Turab berkata kepada Abu Yazid, “Wahai tuanku, melihatmu membuat ia meninggal.” Abu Yazid berkata, “Tidak, tetapi temanmu dalam posisi benar. Dalam hatinya bersemayam rahasia yang tidak dapat terungkap oleh dirinya sendiri, lalu ketika ia melihat kita, barulah ia menyingkap rahasia hatinya sehingga ia pun merasa berat menanggungnya karena ia berada di tingkatan murid yang rendah. Karena menanggung beban itulah ia meninggal.Kehebatan Lelaki Sejati
“Tuanku, engkau boleh berjalan di atas air!” murid-muridnya berkata dengan penuh kekaguman kepada Bayazid Al-Busthami.“Itu bukan apa-apa. Sepotong kayu juga boleh,” Bayazid menjawab.“Tapi engkau juga terbang di angkasa.”“Demikian juga burung-burung itu,” tunjuk Bayazid ke langit.“Engkau juga mampu bepergian ke Ka’bah dalam semalam.”“Setiap pengelana yang kuat pun akan mampu pergi dari India ke Demavand dalam waktu satu malam,” jawab Bayazid.“Kalau begitu, apa kehebatan seorang lelaki sejati?” murid-muridnya ingin tahu.“Lelaki sejati,” jawab Bayazid, “adalah mereka yang mampu melekatkan hatinya tidak kepada sesuatu pun selain Tuhan.”Abu Yazid Dan Anjing Hitam
Syahdan, pada zaman dahulu, ada seorang kiai besar yang sangat dihormati. Orang-orang di sekitarnya memanggi Kiai Yazid –lengkapnya Kiai Abu Yazid al-Bustami. Santrinya banyak. Mereka belajar di bawah bimbingan Sang Guru. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia; ada yang dari Irak, Iran, Arab, Tanah Gujarat, Negeri Pasai dan sebagainya. Mereka setia dan tunduk patuh atas semua naSihat dan bimbingan Sang Mursyid.Selain Kiai Yazid punya santri di pesantrennya, banyak pula masyarakat yang menginginkan nasihat dari beliau. Mereka pun datang dari berbagai penjuru dunia. Ada yang menanyakan tentang perjalanan spiritual yang sedang dihayatinya, ada pula yang bertanya cara menghilangkan penyakit-penyakit hati, bahkan tak jarang yang menginginkan usaha mereka lancar serta keperluan-keperluan yang Sifatnya pragmatis dan teknis lainnya. Semuanya dilayani dan diterima dengan baik oleh Sang Kiai.Meski demikian, kadang-kadang terjadi pula tamu yang datang dengan maksud menguji dan mencobai Sang Kiai: apakah Kiai Yazid itu memang benar-benar waskita (tajam penglihatan mata batinnya)?Abu Yazid Al Bustami & Paderi Samaan
Abu Yazid Al Bustami seorang ahli Sufi yang dikejutkan oleh mimpinya supaya pergi ke gereja Samaan. Tiga kali mimpinya itu berulang. Lalu ia bersiap sedia dengan pakaian dan cara yang diberitahu dalam mimpinya.Ia masuk ke gereja Samaan tanpa disedari oleh Paderi-paderi yang hadir. Dia sama-sama menanti kedatangan ketua Paderi. Setelah ketua Paderi datang, ketua Paderi itu tidak dapat berucap. Dia tahu ada orang lain, orang Islam di dalam gereja itu. Katanya, ” ada orang yang percaya kepada Syariat Muhammad di dalam gereja ini.”Semua paderi menjadi gempar dan mereka mahu orang itu di bunuh. Namun ketua paderi menghalang, sebaliknya ketua paderi meminta orang itu bangun supaya mereka dapat mengenalinya. Abu Yazid Al-Bustami pun bangun, tanpa rasa takut.Menjawab 50 pertanyaan dalam satu soal
Ketua paderi berkata, “wahai pengikut Muhammad, saya akan mengajukan pertanyaan kepada kamu. Jika kamu dapat menjawab semuanya dengan benar, maka saya akan mengikut agama kamu. Namun jika kamu tidak dapat menjawabnya, maka kami akan membunuh kamu.”Jawab Abu Yazid, “baiklah! Tanyalah apa saja yang kamu ingin tanyakan.”Bayazid Al-Busthami Pergi Berhaji
Seorang tokoh sufi besar, Bayazid Al-Busthami suatu saat pergi naik haji ke Mekkah. Pada haji kali pertama, ia menangis. “Aku belum berhaji,” isaknya, “karena yang aku lihat cuma batu-batuan Ka’bah saja.”Ia pun pergi haji pada kesempatan berikutnya. Sepulang dari Mekkah, Bayazid kembali menangis, “Aku masih belum berhaji,” ucapnya masih di sela tangisan, “yang aku lihat hanya rumah Allah dan pemiliknya.”Pada haji yang ketiga, Bayazid merasa ia telah menyempurnakan hajinya. “Karena kali ini,” ucap Bayazid, “aku tak melihat apa-apa kecuali Allah subhanahu wa ta’ala….”Abu Yazid Al Busthami – Raja Para Mistik
Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami, lahir di Bustham terletak di bagian timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau merupakan salah seorang Sulton Aulia, yang juga sebagai salah satu Syeikh yang ada dalam silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah dan beberapa thoriqoh yang lain. Kakek Abu Yazid merupakan penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham.Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya”, ibunya sering berkata pada Abu Yazid, “engkau yang masih berada didalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali”. Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri. Setelah sampai waktunya, si ibu mengirim Abu Yazid ke sekolah untuk mempelajari Al Qur-an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surat Luqman yang berbunyi, “Berterima kasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia lalu meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, “ijinkanlah aku pulang, ada yang hendak kukatakan pada ibuku”. Si guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang kerumah. Ibunya menyambut dengan kata-kata,”Thoifur, mengapa engkau sudah pulang ? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa ?”. “Tidak” jawab Abu Yazid, “Pelajaranku sampai pada ayat dimana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepada engkau wahai ibu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata”. “Anakku” jawab ibunya, “aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah.Sumber : Dari Kitab Ihya’ Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazalidan kutipan dari kitab ryadus sholihinsalam sejahtera ratu wijaya