Sosok Politisi Negarawan Relijius
Ir M Hatta Rajasa, seorang pengusaha dan CEO sukses yang kini berkonsentrasi jadi politisi. Semua perusahaannya dijual setelah masuk partai. Pria relijius penganut pluralisme dalam politik ini berobsesi menjadi politisi negarawan yang mendahulukan kepentingan bangsa. Terlatih bekerja keras, jujur, mandiri dan bekerjasama sejak kecil. Sekjen Partai Amanat Nasional ini, dipercaya dan menunjukkan integritas dan kapasitasnya menjabat Menristek pada Kabinet Gotong-Royong dan Menteri Perhubungan pada Kabinet Indonesia Baru.Banyak orang tak menduga dia menjadi Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu. Sama seperti saat dia dipercaya menjabat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Kabinet Gotong-Royong. Maklum, lulusan perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, diprediksi banyak orang lebih pas menjabat Menteri Enerji dan Sumber Daya Mineral. Namun, dengan kemampuan manajerial yang dimilikinya, jabatan apa pun dapat diemban dengan baik. Terbukti, semasih menjabat Menristek, ia antara lain berhasil mengangkat nama bangsa, manakala terpilih menjadi Presiden Ke-46 Konfrensi IAEA (The International Atomic Energy Agency).
Sebagai orang partai politik (politisi) yang duduk dalam kabinet, pria berambut perak kelahiran Palembang, 18 Desember 1953 ini, berupaya menjalankan peran secara optimal, baik sebagai Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) maupun sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Republik Indonesia Kabinet Gotong-Royong, tanpa terjadinya kemungkinan loyalitas ganda dan abuse of power.
Maka, tak heran bila duet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memilih dan mempercayai Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) ini menjabat Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu.
Sesaat setelah mantan Waka Himpunan Mahasiswa Tehnik Perminyakan ITB dan aktivis Masjid Salman Bandung, ini dilantik menjabat Menteri Perhubungan 21 Oktober 2004, beberapa kalangan menganjurkannya segera melepas jabatan Sekjen DPP PAN, untuk menghindari loyalitas ganda. Namun, sebagai seorang politisi yang mampu menempatkan diri dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan fungsi dan jabatan yang diemban, Hatta memilih jalan lebih bijaksana melalui Kongres PAN, yang memang segera akan dilaksanakan pada April 2005.
Apalagi sebagian besar DPD PAN menganggap jabatan rangkapnya sebagai menteri dan Sekjen PAN telah dilakoninya dengan baik selama ini tanpa menimbulkan efek loyalitas ganda dan abuse of power. Hatta dinilai mampu menjalankan peran secara optimal baik di partai maupun di pemerintahan, tanpa terjadi penyalahgunaan jabatan maupun loyalitas ganda.
Bahkan, banyak kader PAN dan DPD PAN mengusulkannya untuk bersedia memimpin PAN, sebagai Ketua Umum menggantikan Amien Rais. Para kader PAN menilai, Hatta memiliki integritas dan kapasitas memimpin PAN ke depan.
Hatta sendiri tidak buru-buru merespon dorongan dan dukungan dari ratusan DPD dan DPW PAN itu. Dia memperhitungkan dengan matang, sampai akhirnya pada 21 Maret 2005, saat injury time, hanya dua pekan sebelum Kongres PAN kedua di Semarang, 7-10 April 2005, Hatta mendeklarasikan pencalonannya memimpin PAN ke depan sebagai Ketua Umum.
Dia pun menegaskan, tidak akan mengundurkan diri dari kabinet atas pencalonannya. Dia memang sudah berulangkali dalam beberapa kesempatan baik secara lisan maupun dalam tulisan di beberapa majalah dan buku, menegaskan prinsipnya, mampu melepaskan diri dari kepentingan partainya manakala duduk sebagai pejabat negara. “My loyality to the party end when loyality to the state began,” ujarnya. Namun, dia pun menegaskan sebagai seorang politisi akan bekerja maksimal untuk membesarkan partainya.
Suatu prinsip yang juga ditegas-kan Ketua Umumnya, Prof. Dr. M. Amien Rais dalam jajaran PAN. Menurut mantan Ketua Fraksi Reformasi DPR-RI (1999-2000) ini, untuk dapat membedakan antara seorang negarawan dengan seorang politisi adalah kemampuannya membedakan kapan ia harus berbicara atas kepentingan bangsa atau kepentingan partai. Jika hal ini dapat dibedakan maka sudah tidak ada masalah. Ia sendiri dengan jujur mengatakan bahwa ingin partainya besar. “Tapi sejalan dengan itu, saya lebih menginginkan lagi bangsa ini menjadi bangsa yang besar,” kata Menhub ini.
Bagi partai kita, kata Hatta dalam pidato politik deklarasi pencalonannya menjadi Ketua Umum DPP PAN 2005-2010, kekuasaan hanyalah sebuah sarana, bukan tujuan utama, ‘Power is a means, but not our ultimate goal.’ Tujuan utama kita adalah mewujudkan Indonesia baru yang demokratis, berkeadilan, terbuka, dalam masyarakat majemuk yang saling menghormati. Pernyataan ini sekaligus bermakna penegasan posisinya yang akan tetap menjabat menteri, bukan karena keinginan berkuasa, tetapi sebagai kader PAN ingin menganbdikan diri kepada bangsa.
Jika diamati, ia tidak pernah bicara politik atau partai ketika berperan sebagai menteri. Ia selalu menempatkan posisinya pada konteks dan waktu yang tepat. Saat ia bekerja sebagai menteri, ia bicara mengenai bidang tugasnya sebagai menteri. Dan jika ia ke daerah, terutama Sabtu-Minggu - waktu yang benar-benar disediakannya untuk partai - ia bicara sebagai fungsionaris partai.
Prinsip ini dibenarkan oleh para pegawai di Kementerian Ristek maupun Departemen Perhubungan. Bahwa sebagai menteri, ia tidak pernah bicara soal partai kepada mereka. Apalagi untuk mempengaruhi dan mengajak-ajak agar ikut mendukung partainya. “Apa yang saya kerjakan ini, orang menilai, oh begitu orang PAN kalau sudah menteri,” ujar mantan Ketua Senat Mahasiswa Institut Teknologi Bandung ini.
Pengangkatannya menjadi Menris-tek maupun Menhub, tidak pernah dia perkirakan sebelumnya. Namun ia tahu kalau Ketua Umum DPP PAN Amien Rais mencalonkannya sebagai salah satu menteri di kabinet pemerintahan Megawati maupun pemerintahan SBY-JK. Tapi bukan Menristek maupun Menhub. Namun, secara pribadi, ia sama sekali tidak pernah mengira akan menduduki atau mengejar jabatan menteri. Ia hanya berpegang pada prinsip tetap bekerja konsentrasi dan selalu serius dalam setiap bidang yang sedang digumuli.
Ketika itu, ia dihubungi oleh Presiden Megawati, sekitar jam 24:15 wib, diminta untuk menjadi Menristek. Ia sempat kaget juga. Karena tahu, bahwa ia bukan seorang profesor, bukan seorang peneliti. Walaupun ia punya wawasan ke depan. Lalu ia jawab, “Saya siap!” Ia pun kemudian melaksanakan tugas dengan serius dan penuh tanggung jawab.
Begitu pula ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih dan mempercayainya menjabat Menteri Perhubungan, dari beberapa nama kader PAN yang diajukan, ia pun menyatakan siap menjalankan tugas negara dengan penuh tanggung jawab.
Bahkan dialah menteri yang langsung paling aktif pada hari pertama sejak sidang Kabinet Indonesia Bersatu pertama dilakukan 22 Oktober 2004. Hatta, langsung bekerja siang-malam, selain mempersiapkan program kerja (termasuk program kerja 100 hari) Departemen Perhubungan, dia langsung memimpin penanganan pelayanan transportasi mudik lebaran.
Dengan kemampuan manajerial dan keterlatihan kecepatan dan ketepatan mengambil keputusan, dia tampak tak membutuhkan satu hari pun masa adaptasi dan pengenalan masalah di departemen yang baru dipimpinnya itu. Dia langsung memimpin tim di departemennya dengan memberi arahan dan petunjuk teknis untuk peningkatan pelayanan angkutan mudik, yang sudah merupakan siklus tahunan itu.Dia tidak hanya memberi instruksi dari belakang meja, tapi juga terjun langsung ke pusat-pusat pelayanan yang dianggap memerlukan perhatian dan penanganan khusus.
Sebuah pekerjaan besar, yang serta-merta dia lakukan sehari setelah dilantik. Dia berhasil dengan baik. Bahkan relatif lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Kendati di beberapa titik layanan masih perlu peningkatan pelayanan pada tahun-tahun mendatang.
Menristek
Sama seperti ketika sidang kabinet pertama pada pemerintahan Presiden Megawati. Ketika itu, presiden mengingatkan agar setiap kebijaksanaan pemerintah diterjemahkan bagi kepentingan perekonomian masyarakat. Lalu, sebagai Menristek, ia pun menemukan dan merumuskan strategi yang mampu mendukung perekonomian rakyat yang berkaitan dengan IPTEK yaitu pangan, bioteknologi dan energi.
Kemudian, segera pula disusun undang-undang IPTEK. Dengan undang-undang itu, dapat lebih jelas ke mana IPTEK bergerak. Menurutnya, IPTEK adalah merupakan backbond (tulang punggung) perkekonomian. Tidak ada negara di dunia ini yang dapat maju tanpa riset, ilmu pengetahuan dan teknologi. Riset (penelitian) yang menghasilkan inovasi yang berorientasi kepada pertumbuhan dan pencapaian. Itulah yang dilakukan di Kementerian Ristek.
“Memang kita membutuhkan teknologi-teknologi yang besar, namun jika masyarakatnya masih dalam kelaparan dan kekurangan, pasti ada yang salah,” katanya. Ia pun telah meletakkan tujuan yang hendak dicapai Kementerian Ristek pada rel yang benar sesuai dengan kebutuhan bangsa ini.
Integritasnya dalam mengurusi kementerian ini tidak hanya diakui di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Terbukti dari terpilihnya dia secara aklamasi sebagai President of The 46th General Conference of The International Atomic Energy Agency (IAEA), yang berlangsung 16-20 September 2002 lalu di Vienna, Austria.
Konfrensi badan atom internasional itu dihadiri delegasi dari 143 negara. Inilah pertama kali putera Indonesia mendapat kepercayaan memimpin sidang dalam konfrensi IAEA. Selama seminggu penuh, ia memimpin jalannya sidang, yang menelorkan 23 resolusi. Dua resolusi di antaranya harus diselesaikan dengan cara voting, yakni pertama tentang perdamaian Timur Tengah dan kedua tentang pelucutan senjata nuklir Irak.
Pangalamannya di Senayan sebagai Ketua Fraksi Reformasi digunakannya dengan efektif pada konfrensi itu. Ia berhasil membangun jaringan-jaringan dialog serta lobi-lobi. Ia melobi setiap delegasi. Perwakilan dari negara-negara Eropa, ia dengarkan pendapatnya. Kemudian, ia melobi juga perwakilan Israel serta dari negara-negara Arab. Lalu, ia temukan dan tawarkan solusinya. Sidang pun berjalan lancar. Biasanya, pada 10 tahun terakhir, rapat hari terakhir baru selesai sampai pagi. Tapi, kali ini, saat ia memimpin, sidang dapat selesai jam 6 sore lewat 10 menit. Konfrensi yang dianggap paling sukses.
Mengapa Indonesia yang terpilih? Mungkin karena Indonesia adalah merupakan sahabat bagi bangsa-bangsa Arab termasuk Irak, juga dipandang sebagai sahabat bagi negara-negara Eropa. Sehingga baik negara Arab maupun Eropa merasa aman jika mendukung Indonesia. Namun, selain itu, pastilah integritas dan kemampuan pribadi Hatta Rajasa sendiri yang menjadi pertimbangan pokok.
Kemudian faktor lain yang menyebabkan Indonesia terpilih adalah bahwa Indonesia sejak zaman pemerintahan Soekarno sudah mempunyai konsep dan telah meletakkan pondasi yang kuat dalam pengembangan teknologi nuklir. Pusat pengembangan tenaga nuklir yang ada di Bandung itu dibangun pada masa Bung Karno sekitar tahun 1963-1964.
Perihal pengembangan tenaga nuklir di Indonesia, menurutnya, Indonesia sebagai negara besar berpenduduk sekitar 227 juta, dan pada tahun 2020 akan menjadi sekitar 300 juta, tidak mungkin memenuhi kebutuhan energinya dengan mengandalkan sumber energi minyak (fosil) yang non-renewable. Maka, ia berpendapat pada tahun 2015 Indonesia sudah harus mempertimbangkan membangun pembangkit tenaga nuklir.
Ditambahkan, dengan pengetahuan dan pengembangan teknologi nuklir, Indonesia bisa memainkan peranan yang singnifikan dalam pergaulan internasional. “Bangsa Indonesia terlalu besar untuk diremehkan orang. Jadi harus mampu bangkit dalam percaturan internasional dan memberikan pemikiran-pemikiran yang konstruktif. Kita tidak bisa dilecehkan,” kata suami Oktiniwati Ulfa Dariah ini.
Ia merasa sangat tersinggung jika ada pernyataan atau sikap dari luar negeri yang meremehkan dan kurang menghormati kedaulatan Indonesia.
Maka, katanya, kita harus mengembalikan pamor bangsa ini. Seperti ketika para founding father mendirikan dan membangun bangsa ini, sehingga bisa disegani oleh bangsa-bangsa lain. Namun, demikian, ia yakin bahwa bangsa kita masih tetap diperhitungkan oleh bangsa lain.
Jujur dan Mandiri
Anak kedua dari 12 bersaudara ini telah terlatih untuk bekerja keras, jujur, mandiri dan bekerjasama sejak kecil. Ia berasal dari keluarga pamong. Ayahnya seorang pamong.Kakeknya juga pamong di sirah pulau padang Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Ayahnya, ketika masih lajang adalah seorang tentara yang berjuang di tanah Jawa. Namun, sesudah menikah berhenti dari tentara, beralih jadi pegawai negeri sipil.
Sebagai anak yang berasal dari keluarga sederhana -- ayahnya pegawai negeri yang bekerja keras dan jujur -- Hatta telah terbiasa hidup apa adanya, jujur dan berdisiplin. Orang tuanya memang mendidiknya dengan disiplin yang tinggi.
Setelah ia tamat SD, ayahnya menjadi Asisten Wedana (Camat) di daerah Muarakuang. Di kecamatan itu belum ada SMP. Sehingga Hatta kecil dititipkan kepada pamannya di Palembang. Jarak antara Palembang dengan kecamatan itu, kira-kira seratus kilometer. Tapi jika berangkat siang hari dari Palembang menggunakan motor, baru akan sampai larut malam, karena jalan jelek sekali.
Di situ ia mulai mengenal arti sebuah kehidupan. Di situ juga perkembangan kemampuan emosionalnya banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Yakni setiap orang itu haruslah saling menolong, saling memberi dan mau berkorban bagi orang lain. Di situ ia sudah menyadari bahwa kesuksesan seseorang bukan semata-mata karena kemampuan dirinya sendiri, tapi 60% adalah karena kerjasama orang lain, jasa orang lain, terutama ibu-bapanya, keluarga, teman dan kerabat. Juga berkat doa orang tua.
Pandangan ini, yakni semangat toleransi dan menghargai orang lain, sangat dijiwainya sejak kecil. Sampai saat ini, pandangan ini tetap mempengaruhi hidupnya. Karena, sejak tamat SD, ia sudah harus hidup dengan keluarga orang lain. Itu berarti ia harus belajar tahu diri sebagai orang yang dititipkan. Harus bekerja. Pagi-pagi ia harus bangun untuk melakukan tugas-tugas di rumah pamannya, antara lain mengisi bak mandi dengan pompa. Setengah enam ia sudah mengayuh sepeda ke sekolah.
Ia melakukan itu sampai tamat SMA di Palembang. Dari sejak tamat SD, ia sudah berpisah dengan orang tua, hanya bertemu sekali-sekali. Sampai ia menyelesaikan kuliah di ITB. Pada masa ini, sekolah dan berpisah dengan orang tua, dirasakannya sebagai periode pendewasaan intelektual. Aspek relijius, emosional dan rasionalnya dibentuk dalam dua periode itu, yakni ketika SMP-SMA di Sumatera Selatan dan ketika kuliah di ITB.
Ketika di ITB, ia aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, sebagai Waka Himpunan Mahasiswa Tehnik Perminyakan ITB dan Senator Mahasiswa ITB. Selain itu, semasa kuliah, ia juga sempat menjadi aktivis Masjid Salman Bandung.
Menurutnya, ada perbedaan yang mencolok antara masa lalu, ketika ia sebagai aktivis, dengan zaman sekarang. Di masa lalu menjadi aktivis itu, menjadi musuh pemerintah. Oleh sebab itu, aktivis-aktivis yang lalu itu, untuk menjadi aktivis dia harus memiliki keberanian, karena risikonya tinggi. Sehingga karena challenge yang demikian besar ketika menjadi aktivis pada masa lalu itu, ia memetik hikmah yang sangat indah dan itu membentuk kepribadiannya bahwa setiap orang tidak boleh takut mengatakan sebuah kebenaran.
“Kalau dibandingkan dengan masa sekarang ini, kita mau teriak apapun, kita mau jungkir balik, mau mengata-ngatain orang tidak ada satupun yang mau menangkap. It’s a completely different challenge. Challenge-nya sangat berbeda,” katanya.
Setamat dari ITB jurusan perminyakan, sebenarnya ia ingin menjadi dosen, tapi tidak kesampaian. Mungkin karena ketika mahasiswa, ia seorang aktivis dan suka memberontak terhadap pemerintah saat itu.
Ketika itu, sebenarnya ia diterima bekerja di beberapa tempat dengan gaji yang lebih besar. Tapi ia tolak. Ia lebih ingin mandiri dengan membuat perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan sesuai pendidikannya.
Lalu ia bersama teman-temannya merintis usaha itu sampai memiliki beberapa badan usaha yang berkerjasama dengan perusahaan asing dan Petamina. Sejak tahun 1982 sampai 2000 ia menjabat Presiden Direktur Arthindo. Sebelumnya, ia menjabat Wakil Manager teknis PT. Meta Epsi, perusahaan pengeboran minyak. Tapi, begitu ia memutuskan bergabung dengan partai politik, semua kegiatan usaha itu dihentikan, semua dijual. Ia masuk Partai Amanat Nasional (PAN). Setelah masuk partai, benar-benar ia berhenti total dari usaha, tidak lagi memiliki usaha dan tak mau berbisnis.
Ia benar-benar konsentrasi di satu bidang. “Karena itu sifat saya. Kalau saya berusaha (bisnis), saya tidak mau bercampur dengan kegiatan lain. Begitu juga ketika masuk partai politik, saya konsentrasi dan juga tidak mau mencampur-baurkannya dengan usaha yang lain,” kata Sekjen DPP PAN ini.
Politisi Pluralis Relijius
Sebelum masuk PAN, ia tidak pernah berpolitik praktis. Karena tidak ada kesempatan sesuai iklim politik pada zaman orba. Padahal ketika mahasiswa, ia menyenangi bidang tersebut. Sehingga ketika Amien Rais menggerakkan reformasi, ia pun sudah mulai ikut aktif. Saat itu, ia menjadi ketua I Alumni ITB cabang Jakarta. Di situ ia sudah mulai aktif ikut gerakan reformasi, sampai ketika PAN dideklerasikan 23 Agustus 1998, ia pun ikut bergabung.Di PAN, pada mulanya ia menjabat Ketua Departemen Sumber Daya Alam dan Enerji. Kemudian, setelah kongres I, ia terpilih menjadi Sekjen. Pada Pemilu 1999, ia pun terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari PAN, dari wilayah pemilihan Bandung. Di lembaga legislatif itu, ia terpilih menjadi ketua Fraksi Reformasi DPR.
Ketika di Senayan itu, ia benar-benar konsentrasi. Itu memang sudah sifatnya. Kiprahnya ketika permulaan masa reformasi tergolong sangat luar biasa. Pada masa transisi dari pemerintahan Habibie ke Gus Dur dan kemudian ke Mega-wati, ia sebagai ketua Fraksi Refor-masi, mampu menerjemahkan dan mengejawantahkan garis partainya yang didisain demikian apik oleh Ketua Umumnya Amien Rais.
Sehingga Hatta bisa berperan banyak dalam kancah perpolitikan nasional, sebagai support atas peran Amien Rais yang berperan sangat besar sebagai ‘king maker’ pentas politik nasional. Tak heran bila pada saat itu, wartawan DPR/MPR memilih Hatta sebagai salah satu dari 10 tokoh DPR terbaik.
Pada Pemilu 1999, ia adalah ketua Pemilu PAN. Ketika kongres PAN di Jokjakarta, ia sibuk menjadi ketua panitia pelaksana. Pada waktu itu, di PAN ada dua kubu yang saling bertarikan. Ia mengambil posisi berada di tengah saja. Ia termasuk orang yang menginginkan keutuhan dan kekokohan partai PAN.
Relijius
Pria relijius (Muhammadiyah) ini ingin PAN tetap berada di tengah, tidak terseret ke kanan atau ke kiri sesuai dengan platformnya, partai plural, lintas agama, dan lintas budaya. Maka, tak heran jika pada waktu itu, saat pemilihan formatur, ia mendapat suara terbanyak. Formatur dalam kongres itu, memilih Amien Rais tetap sebagai ketua umum dan ia menjadi Sekjen.
Sebelum kongres, nama DR. Faisal Basri (Sekjen PAN) dan AM. Fatwa disebut bersaing kuat untuk menduduki posisi Sekjen itu. Tetapi, ketika kongres digelar, muncul enam calon lagi, termasuk Hatta Rajasa.
Pemilihan Sekjen PAN ini berlangsung ketat di Ballroom Hotel Sheraton Mustika dari pukul 16.00-21.30 WIB. Hatta Rajasa berhasil mengungguli tujuh saingannya dengan perolehan 555 suara. Di belakangnya AM. Fatwa 547 suara, Ir. Armin Aziz 424 suara, Prof. DR. M. Askin 386 suara, Faisal Basri 352 suara, Patrialis Akbar 330 suara, AR. Iskandar 288 suara, dan H. Suwardi 285 suara.
Kemenangannya tidak terlepas dari peran yang dimainkannya dalam kongres yang hampir deadlock karena pro-kontra perlunya PAN memasukkan kata iman dan taqwa dalam AD/ART. Beberapa DPW mengancam keluar dari PAN jika asas iman dan taqwa dicantumkan dalam AD/ART. Sebaliknya ancaman juga datang dari DPW lainnya, bila asas itu tidak dimasukkan ke dalam AD/ART.
Dalam situasi dilematis itu, ia melihat kepiawian Amien Rais selaku ketua umum untuk menyelematkan kongres itu dari ancaman deadlock. Hatta juga mengambil posisi memberi dukungan dengan mengambil posisi di tengah. Ketika itu, Amien Rais menggagas sebuah pertemuan (loby) yang juga diikuti Hatta, Sabtu sore 12 Februari 2000. Dari pertemuan itu lahir pemecahan yakni dibentuknya panitia ad-hoc beranggotakan pakar-pakar independen untuk memutuskan perlu tidaknya perubahan asas PAN.
Kebolehan Hatta Rajasa melakukan loby (sesuai garis partai) tidak hanya terbatas dalam internal partai. Secara eksternal, ia pun mampu melakukan loby dan kerjasama dengan partai-partai lain. Bahkan ketika itu, ia yang menggagas pertemuan antara sekjen-sekjen partai politik, untuk mempersiapkan pembahasan materi rancangan undang-undang. Pada pertemuan-pertemuan itu banyak permasalahan yang dapat diselesaikan.
Namun yang namanya partai poltik, secara intern ada saja gejolak dengan berbagai permasalahannya. Contohnya, ketika diadakannya konggres PAN di Bali, ada usaha-usaha untuk melengserkannya. Karena mungkin ia dinilai terlalu moderat, di tengah dan penganut pluralisme relijius, serta berbagai macam alasan lainnya. Tetapi banyak pengurus PAN dari daerah tetap mendukungnya dengan kuat. Sehingga ia tetap sebagai Sekjen. Dan, ia sendiri memandang itu sebagai sebuah dinamika partai yang lumrah terjadi.
Apalagi dari situ, ia melihat bahwa PAN justeru besar dengan mengukuhkan dan mengartikulasi-kan diri sebagai partai terbuka yang relijius (berasas Pancasila) yang berbasis utama Islam (Muhammadiyah) dan sekaligus mempertahankan pluralisme, lintas agama, lintas suku dan lintas golongan. Sebagai perpanjangan tangan dan pengejawantahan cita-cita luhur Muhammadiyah di kancah politik praktis.
Pada kongres sebelumnya, ketika ia terpilih menjadi Sekjen, ia yang mengusulkan nonmuslim, Bara Hasibuan, menjadi fungsionaris partai, yakni Wakil Sekretaris Jenderal DPP. Maka ketika Bara Hasibuan bersama 15 fungsionaris PAN lainnya, kemudian mengundur-kan diri tanpa sepengetahuannya, ia sangat kecewa.
Dalam partai, ia juga melihat prinsip “The right man on the right place” mutlak juga diperhatikan. Sehingga kadang-kadang orang memandangnya seperti berseberangan dengan kelompok yang lain. Sementara, ia sendiri menganggapnya biasa-biasa saja. Sebab ia bekerja sesuai dengan asas partai yaitu sebagai partai plural yang berbasis utama Islam (Muhammadiyah). Sebuah partai yang dia yakini mampu mengakomodir dan menyuarakan aspirasi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, namun plural, bhinneka tunggal ika, dari Sabang sampai Merauke.
Piawai dalam Komunikasi Politik
Pada permulaan reformasi, sebagai masa transisi, anggota-anggota dewan terpilih dengan sistem Pemilu yang baru. Mereka lebih independen dan tidak dapat di-recall oleh partainya sendiri. Pada kondisi itu, saat menjadi anggota DPR, ia merasa teruji untuk mengartikulasikan hak individunya sebagai wakil rakyat tidak tergantung dengan fraksi dan partainya semata.Ia mampu menempatkan diri dan menjaga keseimbangan, secara individu sebagai wakil konstituen sekaligus sebagai anggota fraksi. Ia sangat memahami bahwa fraksi adalah perpanjangan tangan dari partai politik, maka harus melakukan komunikasi yang intens untuk membawa suara partainya. Akan tetapi, pada saat bersamaan, ia juga tidak kehilangan jati diri sebagai seorang anggota dewan, yang harus bertanggungjawab secara individu kepada konstituen yang memilihnya.
Di masa transisi itu, bahkan sampai saat ini, ia sangat yakin, bahwa tidak mungkin sebuah partai dapat menyelesaikan persoalan bangsa ini sendirian. Oleh karena itu semuanya harus diselesaikan dengan loby dan musyawarah lintas fraksi. Sebagai anggota dewan dan Ketua Fraksi Reformasi ketika itu, ia banyak berdiskusi dan menyerap prinsip dan langkah politik Amien Rais selaku Ketua Umum PAN. Maka ia pun aktif menggalang komunikasi politik lintas partai.
Antara lain, ketika itu, ia aktif mendirikan panitia enam partai yang membicarakan tata-tertib dan kemungkinan-kemungkinan deadlock-nya sidang umum MPR.
Pada waktu itu terdapat dua arus kekuatan yang bergejolak luar biasa, antara kekuatan BJ Habibie dan Megawati Sukarnoputri. Lalu, Amien Rais membawa ‘bendera’ poros tengah. Dalam konstalasi politik demikian panas ketika itu, Hatta pun aktif melakukan berbagai loby. Ketika itu, Gus Dur yang terpilih.
Kemudian dalam proses peralihan kepemimpinan dari Gus Dur ke Megawati Sukarnoputri, ia juga lebih menunjukkan kemampuan politiknya mendampingi Amien Rais dalam menelorkan solusi-solusi terbaik pada saat yang tepat.
Pemerintahan Gus Dur saat itu sangat labil, terjadi inkonsistensi, kabinet yang dibentuk dalam beberapa bulan kemudian dicopot. Setiap hari Jumat muncul pernyataan-pernyataan yang kontroversial yang mengakibatkan suasana politik memanas. Apalagi ketika itu muncul kasus buloggate.
Akhirnya, keluar memorandum satu, dua dan tiga kepada presiden. Upaya ini didukung oleh berbagai fraksi melalui lobi-lobi lintas partai. Waktu itu ia dan fungsionaris lintas partai mengadakan pertemuan, hampir setiap hari di rumah Arifin Panigoro. Terakhir ketua-ketua fraksi bertemu di Hotel Indonesia menyatakan sikap bersama. Ketua Fraksi TNI/POLRI pun saat itu ikut bergabung.
Sikap bersama itu dapat terjadi, karena memang saat itu telah terjadi instabilitas politik dalam pemerin-tahan, seperti, ketika presiden meng-ijinkan bendera Papua dikibarkan. Jika itu dibiarkan, mungkin Irian Jaya sudah lepas dari Indonesia.
Namun semua yang terjadi dalam dunia politik tidak pernah dilibatkan dalam kehidupan pribadi atau menjadi sebuah sentimen pribadi. Ia pun bukan tipe politisi yang suka berteriak dengan pendapat-pendapat yang kedengarannya menghentakkan, tapi tanpa solusi.
Baginya dalam berpolitik ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yakni (1) sikap konsisten yang disertai (2) tingkat moralitas yang tinggi dan menjaga etika. Boleh berbeda pendapat tapi jangan menghujat. Ia memang termasuk tipe orang yang tidak suka menghujat. Jika ada perbedaan pendapat, ia dengan santun dan terbuka menyampaikan bahwa ia mempunyai pendapat yang berbeda. Tapi jika pendapat orang lain memang lebih benar, ia pun akan mengikuti pendapat itu. Sebaliknya, jika pendapatnya yang benar, yang lain juga seharusnya mengakui. Tanpa perlu saling menghujat.
Jadi, menurutnya, persoalan politik dapat diselesaikan dengan baik-baik tanpa harus menyakiti perasaan orang. Tetapi jika dalam berpolitik sudah ada bibit-bibit suka dan tidak suka, maka persoalan apapun tidak dapat diselesaikan. Ia berpandangan persoalan dapat diselesaikan dengan nyaman, aman dan elegan, jika ada sikap saling menghargai.
Etika berpolitik elegan seperti ini dengan baik dipraktekkannya. Pada masa pemerintahan Gus Dur, ia benar-benar mengritik pemerintahan Gus Dur dengan tajam. Namun tidak pernah ia menghujat. Gus Dur tetap ia hormati baik sebagai pribadi maupun sebagai presiden yang sah. Pendirian ini, di berbagai forum dan kesempatan selalu ia kedepankan.
Dukungan Keluarga
Perjalanan karirnya pastilah juga dipengaruhi oleh dukungan keluarga, terutama isteri dan anak-anaknya. Terutama saat ia memilih menjadi politisi, dimana seorang pengusaha dan CEO meninggalkan bisnis dan fokus sebagai politisi, sebuah keputusan yang tidak mudah bagi seorang yang sudah mempunyai keluarga dengan kehidupan yang mapan.Ketika itu, tahun 1999, anak-anaknya masih kecil. Putra terbesarnya saat itu baru tamat SMP mau ke SMA. Ketika mengambil keputusan itu, ia memang berdialog panjang dengan keluarga, dengan istri terutama. Suatu hal yang tidak mudah baginya karena memilih memasuki dunia yang lain sama sekali. Ia mengaku tidak gampang meyakinkan keluarganya. Ia menegaskan, sekali ia berpolitik maka ia tidak akan menyentuh bisnis, harus dilepaskan semua. Ia pun harus berpikir mempersiapkan dari hasil-hasil usahanya itu buat keluarga dan buat berpolitik.
Suatu keputusan tentang kehidupan yang betul-betul berbeda. Dari sebuah kehidupan yang rada teratur, saat magrib bisa sembahyang bareng dengan anak-anaknya, menjadi sebuah kehidupan yang bisa disebut tidak teratur sama sekali. “Mereka sempat shock. Kan waktunya sangat pendek. Tahun 1998 PAN didirikan, tahun 1999 saya sudah menjadi anggota DPR, tahun 1999 saya di Senayan dan nyaris tidak pulang-pulang. Saya tidur di hotel dan jarang sekali ketemu dengan anak-anak, selama berapa bulan itu. Mereka bertanya-tanya, ‘kenapa kehidupan ini menjadi begini’. Dia tidak pernah ketemu bapaknya tapi lihat bapaknya di TV terus,” kenangnya.
Lalu ia pun menceritakan pelan-pelan kepada anak-anaknya bahwa inilah kehidupan. Ia jelaskan bahwa “dimanapun kita berada, papa sebagai pengusaha, papa sebagai pengajar, papa sekarang mau jadi politisi, semua itu adalah bagian dari ibadah.” Keluarganya pun memahami dan menerima.
Sementara gaya hidup keluarganya tampak biasa-biasa saja saat ia kemudian diangkat menjadi menteri. Istrinya tetap nyetir sendiri, dan sangat marah kalau ke daerah harus dikawal, harus ada ajudan.
“I never change my style of life. Saya tidak suka, misalnya tiba-tiba menjadi harus sangat formal, never change soal-soal seperti itu,” ujarnya. Anak-anaknya juga begitu, mereka biasa saja, dan mereka protes serta tidak mau tinggal di rumah menteri, dan memilih tetap tinggal di rumah pribadinya.
Jadi tidak ada sesuatu yang berubah. Hanya kadang-kadang, seperti anaknya yang paling kecil bertanya: ‘Pak, orang bilang pejabat negara itu sama dengan korupsi?’ Menjawab pertanyaan anak kecil yang kritis ini, ia mengaku tidak gampang menjelaskan sampai si kecil memahaminya.
Keluarganya memang harus memahami tugas panggilannya. Sebab bagi dia, hari Sabtu hari Minggu hari keluarga, tidak ada. Baginya semua hari-hari keluarga, semua hari-hari kerja, semua hari ya hari. Semua hari untuk bekerja, untuk beribadah. Sehingga frekuensi untuk ketemu anak-anak jauh berkurang.
Namun, pada Sabtu-Minggu kalau berada di Jakarta ia berupaya melepas kebebasan diri. Ia nyetir sendiri. Sabtu-Minggu supir pulang. Tidak ada ajudan. Ia malah menjadi happy.
Internalisasi Demokrasi
Menurutnya, di Indonesia banyak persoalan besar yang sebenarnya sudah dapat diselesaikan tanpa mengakibatkan konflik. Satu di antaranya proses demokratisasi yang luar biasa. Kebebasan berbicara, berserikat dan mendirikan partai sudah terselesaikan. Sementara di banyak negara lain persoalan ini belum selesai.Namun, menurutnya, hal ini harus dibarengi dengan pemahaman-pemahaman oleh partai politik dengan melakukan internalisasi demokrasi melalui tiga hal. Yaitu, pertama, secepat mungkin menyu-sun sebuah proses rekruitmen yang sehat. Karena jika partai politik tidak dapat melakukan tugas ini dengan benar maka yang merasakan kerugian tersebut adalah bangsa ini.
Misalnya jika kita perhatikan wakil rakyat yang ada di kota kabupaten dan daerah tingkat I, yang mulai dikritik oleh masyarakat, ini adalah tanda bahwa partai politik belum dapat melaksanakan rekruitmen yang sehat. Jadi hal ini harus cepat diselesaikan. Tidak ada pilihan lain, karena partai politik adalah ujung tombak demokrasi, yang akan membangun pemerintah-an dan suprastruktur di republik ini. Jika hal ini tidak dilaksanakan, tujuan kita untuk mencapai demo-krasi modern yang menghasilkan good government atau pemerintahan yang sehat akan terhambat.
Kedua adalah bagaimana di antara partai politik menciptakan suasana berkompetisi yang tidak menimbulkan konflik, yang tentu diatur melalui undang-undang dan peraturan partai politik.
Ketiga adalah bagaimana partai-partai politik menyelesaikan persolan-persoalan mengenai transparansi keuangannya, serta adanya peraturan yang mengatur bagaimana partai-partai politik dapat ikut dalam Pemilu.
Ia sendiri adalah orang yang mendukung dibentuknya aturan yang jelas agar setiap orang memiliki kebebasan yang seluas-luasnya dalam membentuk partai politik tanpa dipersulit. Sebab hal itu adalah hak dasar. Jika seseorang kehilangan haknya, ia juga kehilang-an kemanusiaannya. Ia dikatakan manusia karena memiliki kebebasan. Jadi jika ia kehilangan hak dalam berkumpul dan berserikat, hilang jugalah kemanusiannya.
Tapi harus ada aturan yang jelas. Aturan itu harus disepakati bersama dan tidak dapat diubah-ubah. Sebab jika mudah berubah, malah akan menjadi sangat rawan bagi terjadi-nya konflik. Sebagai pembanding bisa lihat di luar negeri yang aturannya jelas. Sehingga partai politiknya sehat, dan berpengaruh pada keadaan bangsa tersebut.
Ia sangat sedih jika banyak tokoh-tokoh non-partai, yang sebenarnya dapat menjadi tokoh partai, berada di luar partai lalu hanya dapat mengkritisi dan menutup diri. Sehingga seakan-akan hanya dirinya saja yang dapat mewakili rakyat. Padahal semua tahu, partai politik adalah ujung tombak demokrasi. Jadi membangun demokrasi harus dengan cara memperkuat partai politik dengan dukungan ke arah yang lebih baik. Atau mendirikan partai politik. Walaupun di sisi lain kita juga harus mempuyai masyarakat sipil yang kuat untuk mengarahkan gerak partai politik.
Korupsi & Kemiskinan
Pengagum Bung Karno dan Amien Rais ini melihat ada tiga masalah yang dihadapi bangsa ini dalam beberapa tahun terakhir, yakni kemiskinan, terancamnya kerukunan dan ganasnya korupsi.(Ia memajang foto Bung Karno bersalaman dengan Kanselir Jerman Conrad Adenaeur (1953). Ketika itulah orang-orang Indonesia dikirim ke Jerman yang kemudian menjadi scientist-scientist kita di sini. Jadi, ia bangga dengan shakehand-nya Bung Karno dengan Kanselir Jerman ini. Conrad Adenaeur adalah bapak pembangunan ekonomi yang membangun kembali Jerman, paska perang dunia kedua.)
Tiga persoalan besar yang menjadi perhatiannya itu: Pertama, mening-katnya secara tajam kemiskinan di Indonesia dari 22,5 juta atau sekitar 11,3% dari seluruh penduduk Indonesia pada tahun 1996 membengkak jadi 49,5 juta orang atau sekitar 24,2% dari jumlah penduduk pada tahun 1998. Kemiskinan ini, sebagai akibat kemiskinan struktural maupun kemiskinan karena gelombang resesi.
Standar untuk menentukan garis kemiskinan pada 1996 adalah pendapatan per kapita sebesar Rp 38.246 per bulan untuk perkotaan dan Rp 27.413 untuk pedesaan.
Lalu, tahun 1999 jumlah penduduk miskin itu sedikit berkurang menjadi 48,4 juta orang. Standar yang digunakan secara nominal, yaitu Rp 92.409 untuk perkotaan dan Rp 74.272 untuk pedesaan. Lalu tahun 2002 berkurang lagi menjadi sekitar 37,5 juta orang. UU Program Pembangunan Nasional (Propenas), mengama-natkan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan pada 2004 tidak boleh lebih dari 30 juta orang atau sekitar 14% dari jumlah penduduk.
Namun, pemerintah memperkirakan penurunan rasio angka kemiskinan yang ditargetkan dalam Propenas itu tidak akan tercapai. Maksimal upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah menekan rasio angka kemiskinan tersebut antara 16 sampai 17 persen.
Kemiskinan ini telah mengakibatkan ketidakberdayaan masyarakat di berbagai bidang kehidupan, terutama bidang kesehatan. Nutrisinya sangat rendah, tentu akan menghasilkan generasi lemah. Berakibat kepada sumber daya manusia yang tidak tangguh pada generasi berikutnya. Ini sungguh memprihatinkan. Maka, ia sangat serius tentang hal ini.
Kedua, menurunnya semangat toleransi dan terlalu mengedepan-kan sikap-sikap keakuan. Apakah itu keakuan dalam konteks hukum, konteks agama, atau dalam konteks kelompok. Semangat kebersamaan jauh menurun, yang berakibat terdesaknya kelompok masyarakat miskin yang tidak berdaya.
Ketiga, hal yang paling klasik, yakni masih ganasnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga, kita membutuhkan sebuah resep. Resep yang mampu membangkitkan kembali (revitalisasi) semangat kebersamaan dan nasionalime bangsa ini.
Ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. “Tetapi jika Tuhan memberikan kesempatan untuk meminta apa saja dan pasti dikabulkan-Nya, saya pasti tidak akan meminta supaya saya berkuasa, tetapi saya akan meminta agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, terbebas dari kemiskinan dan kebodohan. Itu yang pasti saya minta. Hanya satu itu saja,” kata Menristek ini dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia, di ruang kerjanya. ►e-ti/crs-ht-msdi copy dari blog pensilonline.
https://kloningankloning.blogspot.co.id/2015/05/kisah-kasih-korupsi-hatta-rajasa-m-riza.html?showComment=1483191469723#c952772017035714246
BalasHapus