Rabu, 25 Mei 2011
Dulmuluk, Teater Rakyat Dari Palembang
Dari manakah Dulmuluk atau
Abdulmuluk berasal? Ada beberapa versi tentang
sejarah teater tradisional yang berkembang di Sumatera Selatan ini. Satu versi
yang sering disebut- sebut, teater ini bermula dari syair Raja Ali Haji,
sastrawan yang pernah bermukim di Riau. Penyair dan anggota Asosiasi Tradisi
Lisan Sumatera Selatan, Anwar Putra Bayu, di Palembang, mengungkapkan, salah
satu syair Raja Ali Haji diterbitkan dalam buku Kejayaan Kerajaan Melayu. Karya
yang mengisahkan Raja Abdul Muluk itu terkenal dan menyebar di berbagai daerah
Melayu, termasuk Palembang.
Pertunjukan itu mulai dikenal
sebagai dulmuluk pada awal abad ke-20. Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun
1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan dengan
panggung. Saat itu dulmuluk. Grup teater kemudian bermunculan dan
dulmuluk tumbuh dan digemari masyarakat. Dulmuluk menarik karena menampilkan
teater yang lengkap. Ada lakon, syair, lagu-lagu Melayu, dan lawakan. Lawakan,
yang biasa disebut khadam, sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan
sehari-hari masyarakat saat itu. Pementasan dulmuluk selalu ditunggu masyarakat
karena akting di panggung dibawakan secara spontan dan menghibur, bahkan
penonton juga bisa merespons percakapan di atas panggung. Bahasa yang digunakan
adalah bahasa Melayu dan bahasa Palembang.
Konon, pertunjukan Dulmuluk
sempat berada di puncak kejayaannya pada era 1960-an dan 1970-an. Ketika itu
ada puluhan grup teater tradisi Dulmuluk. Di beberapa tempat teater tradisi ini
dikenal juga sebagai pertunjukan Johori. Istilah Johori berasal dari nama
belakang tokoh utamanya, yang bernama lengkap Abdul Muluk Jauhari. Pada masa
kejayaannya itu, grup Dulmuluk tak hanya ada di daratan Sumatera Selatan.
Wilayah apresiasinya bahkan tercatat hingga ke Pulau Bangka dan Belitung, yang
kala itu masih bergabung dengan Provinsi Sumsel.
Robert Martin Dumas dalam
disertasi yang dipertahankannya di Universitas Leiden, Belanda (Mei, 2000),
mencatat, dalam sebuah kelompok teater Dulmuluk, peran ’guru’ sangat penting.
Meski grup teater Dulmuluk merupakan kelompok yang cair, di mana seseorang
dalam satu grup boleh bermain untuk grup lain, posisi ’guru’ dalam kelompok
tersebut tetap merupakan sosok sentral. “Seorang ’guru’ punya karisma di antara
para pemain yunior,” kata Robert Martin Dumas dalam disertasi berjudul ’Teater
Abdulmuluk’ in Zuid-Sumatra of de drempel van een Nieuw Tijdperk (TeaterAbdulmuluk di Sumatera Selatan di Ambang Pintu Sebuah Era Baru)
Seperti halnya kebanyakan
teater tradisi di Nusantara, Dulmuluk tak cuma mengandalkan akting di atas
panggung untuk menyampaikan pesan kepada penonton. Unsur nyanyian, musik, tari,
gerak badan, pidato, dan ’komunikasi’ dengan audiens menjadi bagian tak
terpisahkan dalam pentas Dulmuluk. Setelah bergaul dengan para pemain Dulmuluk
sejak 1987, bahkan pada 1990 sempat bergabung sebagai pemain, Dumas sampai pada
satu kesimpulan, “Sebuah pertunjukan teater non-Barat seperti Abdul Muluk lebih
merupakan peristiwa sosial ketimbang semata-mata sebuah peristiwa seni drama.”
Dumas memang tak berlebihan. Sebagai tontonan, Dulmuluk memang memberikan apa yang ingin diketahui khalayak lewat aksi panggung mereka. Namun, kebanyakan orang lupa bahwa berhadapan dengan teater tradisi seperti Dulmuluk, unsur-unsur di luar pertunjukan drama itu sendiri—yang tentunya masih dalam satu rangkaian peristiwa—bisa memberi informasi berharga, termasuk fenomena sosial-budaya terkait keberadaan Dulmuluk sebagai bagian komponen seni pertunjukan rakyat.
Dumas memang tak berlebihan. Sebagai tontonan, Dulmuluk memang memberikan apa yang ingin diketahui khalayak lewat aksi panggung mereka. Namun, kebanyakan orang lupa bahwa berhadapan dengan teater tradisi seperti Dulmuluk, unsur-unsur di luar pertunjukan drama itu sendiri—yang tentunya masih dalam satu rangkaian peristiwa—bisa memberi informasi berharga, termasuk fenomena sosial-budaya terkait keberadaan Dulmuluk sebagai bagian komponen seni pertunjukan rakyat.
Taruhlah menyangkut tahap
persiapan menjelang pertunjukan. Tentang kerepotan mengumpulkan pemain,
perjuangan mencari tempat penyewaan properti panggung, hingga prosesi berupa
upacara sesaji sesaat menjelang pentas, memberi semacam gambaran kehidupan
sosial komunitas ini. Misalnya, mengapa harus ada beras-kunyit, pisang mas,
telur atau ayam panggang, kembang tujuh warna, dan kemenyan? “Selain untuk
tolak-balak agar pertunjukan berjalan lancar, juga agar aura pemain benar-benar
muncul. Misalnyo, kalu jadi rajo pecak rajo nian,” kata Saidi.
Begitu pun setelah pertunjukan usai. “Prosesi” pembagian honor hanyalah salah satunya. Lebih dari itu, sebelum kembali kehidupan sehari-hari masing- masing, keguyuban yang cair dalam komunitas itu akan saling berbagi pengalaman. Bahkan, ruang sempit di belakang panggung itu tak jarang menjadi tepat ’mengadu’—bagai ruang konsultasi terbuka—terkait peristiwa keseharian, termasuk dalam urusan pribadi sekalipun.
Begitulah dinamika di balik pentas Dulmuluk. Bagaimanapun, sebagai bentuk kesenian Melayu yang kental dipengaruhi ajaran Islam, selalu saja ada pesan yang diselipkan. Seperti lantunan syair Saidi ini: Pada masa inilah zaman/Suka di mata bercampur teman/Harta di dunia jangan disayangkan/Akhirnya esok akan ditinggalkan... Ahh.... inilah seni budaya melayu juga palembang yg mulai di lupakan baik pentasnya maupun bintang bingtangya seperti wak ya,wak pet ,cek den dll
Begitu pun setelah pertunjukan usai. “Prosesi” pembagian honor hanyalah salah satunya. Lebih dari itu, sebelum kembali kehidupan sehari-hari masing- masing, keguyuban yang cair dalam komunitas itu akan saling berbagi pengalaman. Bahkan, ruang sempit di belakang panggung itu tak jarang menjadi tepat ’mengadu’—bagai ruang konsultasi terbuka—terkait peristiwa keseharian, termasuk dalam urusan pribadi sekalipun.
Begitulah dinamika di balik pentas Dulmuluk. Bagaimanapun, sebagai bentuk kesenian Melayu yang kental dipengaruhi ajaran Islam, selalu saja ada pesan yang diselipkan. Seperti lantunan syair Saidi ini: Pada masa inilah zaman/Suka di mata bercampur teman/Harta di dunia jangan disayangkan/Akhirnya esok akan ditinggalkan... Ahh.... inilah seni budaya melayu juga palembang yg mulai di lupakan baik pentasnya maupun bintang bingtangya seperti wak ya,wak pet ,cek den dll
viagra
BalasHapus