Minggu, 27 November 2011

dul muluk


Rabu, 25 Mei 2011

Dulmuluk, Teater Rakyat Dari Palembang




Dari manakah Dulmuluk atau Abdulmuluk berasal? Ada beberapa versi tentang sejarah teater tradisional yang berkembang di Sumatera Selatan ini. Satu versi yang sering disebut- sebut, teater ini bermula dari syair Raja Ali Haji, sastrawan yang pernah bermukim di Riau. Penyair dan anggota Asosiasi Tradisi Lisan Sumatera Selatan, Anwar Putra Bayu, di Palembang, mengungkapkan, salah satu syair Raja Ali Haji diterbitkan dalam buku Kejayaan Kerajaan Melayu. Karya yang mengisahkan Raja Abdul Muluk itu terkenal dan menyebar di berbagai daerah Melayu, termasuk Palembang.
Pertunjukan itu mulai dikenal sebagai dulmuluk pada awal abad ke-20. Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan dengan panggung. Saat itu dulmuluk.  Grup teater kemudian bermunculan dan dulmuluk tumbuh dan digemari masyarakat. Dulmuluk menarik karena menampilkan teater yang lengkap. Ada lakon, syair, lagu-lagu Melayu, dan lawakan. Lawakan, yang biasa disebut khadam, sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari-hari masyarakat saat itu. Pementasan dulmuluk selalu ditunggu masyarakat karena akting di panggung dibawakan secara spontan dan menghibur, bahkan penonton juga bisa merespons percakapan di atas panggung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan bahasa Palembang.
Konon, pertunjukan Dulmuluk sempat berada di puncak kejayaannya pada era 1960-an dan 1970-an. Ketika itu ada puluhan grup teater tradisi Dulmuluk. Di beberapa tempat teater tradisi ini dikenal juga sebagai pertunjukan Johori. Istilah Johori berasal dari nama belakang tokoh utamanya, yang bernama lengkap Abdul Muluk Jauhari. Pada masa kejayaannya itu, grup Dulmuluk tak hanya ada di daratan Sumatera Selatan. Wilayah apresiasinya bahkan tercatat hingga ke Pulau Bangka dan Belitung, yang kala itu masih bergabung dengan Provinsi Sumsel.
Robert Martin Dumas dalam disertasi yang dipertahankannya di Universitas Leiden, Belanda (Mei, 2000), mencatat, dalam sebuah kelompok teater Dulmuluk, peran ’guru’ sangat penting. Meski grup teater Dulmuluk merupakan kelompok yang cair, di mana seseorang dalam satu grup boleh bermain untuk grup lain, posisi ’guru’ dalam kelompok tersebut tetap merupakan sosok sentral. “Seorang ’guru’ punya karisma di antara para pemain yunior,” kata Robert Martin Dumas dalam disertasi berjudul ’Teater Abdulmuluk’ in Zuid-Sumatra of de drempel van een Nieuw Tijdperk (TeaterAbdulmuluk di Sumatera Selatan di Ambang Pintu Sebuah Era Baru)

Seperti halnya kebanyakan teater tradisi di Nusantara, Dulmuluk tak cuma mengandalkan akting di atas panggung untuk menyampaikan pesan kepada penonton. Unsur nyanyian, musik, tari, gerak badan, pidato, dan ’komunikasi’ dengan audiens menjadi bagian tak terpisahkan dalam pentas Dulmuluk. Setelah bergaul dengan para pemain Dulmuluk sejak 1987, bahkan pada 1990 sempat bergabung sebagai pemain, Dumas sampai pada satu kesimpulan, “Sebuah pertunjukan teater non-Barat seperti Abdul Muluk lebih merupakan peristiwa sosial ketimbang semata-mata sebuah peristiwa seni drama.”
Dumas memang tak berlebihan. Sebagai tontonan, Dulmuluk memang memberikan apa yang ingin diketahui khalayak lewat aksi panggung mereka. Namun, kebanyakan orang lupa bahwa berhadapan dengan teater tradisi seperti Dulmuluk, unsur-unsur di luar pertunjukan drama itu sendiri—yang tentunya masih dalam satu rangkaian peristiwa—bisa memberi informasi berharga, termasuk fenomena sosial-budaya terkait keberadaan Dulmuluk sebagai bagian komponen seni pertunjukan rakyat.

Taruhlah menyangkut tahap persiapan menjelang pertunjukan. Tentang kerepotan mengumpulkan pemain, perjuangan mencari tempat penyewaan properti panggung, hingga prosesi berupa upacara sesaji sesaat menjelang pentas, memberi semacam gambaran kehidupan sosial komunitas ini. Misalnya, mengapa harus ada beras-kunyit, pisang mas, telur atau ayam panggang, kembang tujuh warna, dan kemenyan? “Selain untuk tolak-balak agar pertunjukan berjalan lancar, juga agar aura pemain benar-benar muncul. Misalnyo, kalu jadi rajo pecak rajo nian,” kata Saidi.
Begitu pun setelah pertunjukan usai. “Prosesi” pembagian honor hanyalah salah satunya. Lebih dari itu, sebelum kembali kehidupan sehari-hari masing- masing, keguyuban yang cair dalam komunitas itu akan saling berbagi pengalaman. Bahkan, ruang sempit di belakang panggung itu tak jarang menjadi tepat ’mengadu’—bagai
ruang konsultasi terbuka—terkait peristiwa keseharian, termasuk dalam urusan pribadi sekalipun.
Begitulah dinamika di balik pentas Dulmuluk. Bagaimanapun, sebagai bentuk kesenian Melayu yang kental dipengaruhi ajaran Islam, selalu saja ada pesan yang diselipkan. Seperti lantunan syair Saidi ini: Pada masa inilah zaman/Suka di mata bercampur teman/Harta di dunia jangan disayangkan/Akhirnya esok akan ditinggalkan... Ahh.... inilah seni budaya  melayu juga palembang yg mulai di lupakan baik pentasnya maupun bintang bingtangya seperti wak ya,wak pet ,cek den dll

1 komentar: