PANGERAN PEGAGAN ILIR
sejarah Marga Pegagan Ilir (PIS) II ini, berpegang pada hasil penyelidikan Haji
Zainal Arifin, Pembarap Marga (1943-1945), dibantu Haji Muhamad Kafen,
putera bungsu pangeran haji Malian Pasirah yang ke lima.
Marga PIS II telah didirikan secara resmi sekitar tahun 1870, berkedudukan di Sungai Pinang
dibawah Pimpinan Pesirah. Sebelumnya, lingkungan ini berada dibawah
kekuasaan seorang jenang yang berkedudukan di Talang Pegadungan. Lokasi
tempat itu sekarang berada sekitar tepi sungai Risan Jenang dusun Talang
Balai. Pergantian ini terjadi karena terjadi pergantian pada kesultanan
palembang.Darussalam.
Selama
masa interegnum akibat pergantian itu Jenang berganti menjadi Pasirah
dan dalam masa transisi itu, jenang masih tetap dipakai. Maka yang
pertama menjabat pasirah pengganti jenang di talang pengaduan risan
jenang talang balai itu adalah wujud yang mangaku jabatannya selama satu
tahun delapan bulan dan digantikan oleh onong yang meminpin selama enam
bulan. Penggantinya ialah bahar yang juga memangku jabatan selama delapan bulan.
Pimpinan
yang ke empat adalah abdul halik, yang dikenal pula dengan nama
pangeran liting memproleh gelar pangeran wirakrama. Inilah pimpinan yang
paling lama sepanjang sejarah marga itu. Jabatan kepala marga dipegang
pangeran liting selama tiga puluh enam tahun. Pangeran liting diganti
puteranya pangeran Malian memimpin selama sembilan belas tahun, diganti
depati Muhamad nur putera Malian menjabat selama lima
tahun. Selanjutnya secara berturut-turut pimpinan Marga PIS II dipimpin
oleh Thalib bin Ahyat bin Liting, Jemahir dari Ulak Kerbau, kembali
Muhamad Nur, kembali lagi Jemahir, Sihar dan Abdulmalik.
Tokoh
lain dari pegagan ilir yang tidak dapat di pisahkan dari pangeran
liting adalah menantunya, Muhamad Nuh. Ia pangeran dari Tanjung Sejaro,
Pegagan Ilir suku satu. Menantu pangeran Liting ini, antara lain
melanjutkan pembuatan terusan bujang setelah sungai rotan sampai ke
pemulutan ilir.
Tiga Pangeran
- Pangeran Liting
Pada awal
pangeran Liting akan menjadi pasirah, seorang controleur Belanda
mengumpulkan masyarakat pedusunan dalam Marga itu. Kepada mereka
diserukan agar segera memilih seseorang Pasirah dan pimpinan mereka
karena pasirah lama telah berhenti dari jabatannya. Ditanyakan kepada
masyarakat siapa yang hendak di pilih menjadi pimpinan mereka. Pada
waktu itu seluruh yang hadir menjawab bahwa mereka setuju apabila Abdul
Khalik atau Liting menjadi pimpinan mereka. Pilihan mereka hanya pada
tokoh yang satu itu saja.
Ketika
ditanya mengapa memilih Liting? Mereka menjawab, alasannya adalah
karena Liting bersifat jujur dan ia dapat membaca dan menulis. Setelah
permufakatan dikukuhkan, mereka mencari tokoh yang di maksud. Akan
tetapi ia tidak berada di ruagan itu. Mereka menduga bahwa kalau tidak
disawah, ia pasti sedang di kebun mengambil kayu. Musyawarah dihentikan,
seluruh hadirin pergi mencari Liting.
Dugaan
mereka benar, mereka mendapatkan Liting sedang berada di sawah
mengambil kayu dan mengajak nya segera pulang karena di panggil untuk di
jadikan Pasirah. Setelah sampai di hadapan Coutroleur, Liting
menyatakan kepada coutroleur itu bahwa ia tidak dapat tulis baca huruf
latin. Ia hanya pandai tulis baca huruf Arab dan surat
ulu saja. Kedua kemampuan itu ternyata sudah di pandang cukup, dan
Liting di angkat menjadi pasirah. Sementara itu kayu yang telah berhasil
ia kumpulkan dari kebun tadi di bawah pulang. Kayu yang di ambil nya
ialah batang pohon palas, disimpan dan di jadikan benda pusaka
zuriatnya. Terakhir, benda itu di simpan di atas loteng Uma Beso dan
terbawa ke Sirah Pulau Padang bersamaan dengan pemindahan rumah
tersebut. Benda itu ikut terbakar ketika Uma Beso terbakar. Sekarang
rumah itu tinggal puing-puingnya saja.
Selama
masa jabatannya sebagai Pasirah, nama Pangeran Liting cukup harum baik
dipandang oleh rakyat maupun oleh pihak colonial atasannya. Selama ia
memegang tampuk pimpinan Marga PIS II, telah berhasil di angkat menjadi
pangeran dan mendapatkan tanda jasa bintang emas, dan terakhir
mendapatkan bintang besi.
Salah
satu usahanya yang terbesar ialah memimpin pembuatan dan penggalian
Terusan Bujang yang membentang dari hulu dusun Talang Balai menuju
Ketapang, sampai disungai Rotan di lanjutkan oleh menantunya Muhamad Nuh
(Pangeran Marga Pegagan Ilir Suku I) ke
pemulutan Ilir. Ia menghentikan sampai sungai Rotan, karena dusun itu
merupakan batas akhir dari Marga Pegagan Ilir Suku II yang di pimpinnya.
Ketika di buat, lebar sungai itu hanya dua setengah meter saja.
Terusan
ini di kerjakan secara turunan ayam (bergotong royong) oleh rakyat
tua-muda laki-laki perempuan, dan terutama para bujang. Oleh karena itu
sungai terusan ini disebut dengan Terusan Bujang. Sementara itu, Sungai
Ogan yang asli berbelok-belok melewati dusun Sukapindah, Ulak kerbau,
Kerinjing, Sukaraja, Mandiangin, Arisan gading, Tanjung Sejaro, Saka
Tiga, terus kekanan menuju Muara Penimbung, Talang Aur, seterusnya
Talang Pangeran, Ulak Kembahang sampai Pemulutan Ilir sampai bertemu
dengan Terusan Bujang.
Sungai
Ogan asli semakin dangkal dan di penuhi oleh pasir, sedangkan Terusan
Bujang yang lurus airnya sangat deras sehingga mengalirkan air Sungai
Ogan. Pembentukan terusan ini sangat bermanfaat dalam mengairi
persawahan di kanan dan di kirinya. Dengan begitu, sawah ladang menjadi
lebih subur dan memberi keuntungan yang besar. Dusun dan lebak yang
memperoleh manfaat langsung dari terusan ini antara lain dusun Kotadaro,
ketapang, Jagolano, Rantau Panjang, Sejangko, dan lain-lain.
Penghasilan
sawah menjadi meningkat dan terkenal dengan sebutan Beras Pegagan. Ini
merupakan salah satu jasa Pengeran Liting, pesirah ke empat Marga PIS
II.
- Pangeran Muhamad Nuh
Pangeran Nuh,
di kenal pula dengan nama Pangeran Anom Kesumo , putera pertama Depati
Dece dengan istrinya Rokeba. Ia menjadi kepala Marga Pegagan Ilir Suku I
menggantikan Depati Ubit (putera Dece dari istrinya yang lain) yang
meninggal. Namanya di kenal dan di bicarakan sampai keluar daerah, baik
dikalangan bawah maupun dikalangan atas. Ia memiliki keunggulan sebagai
admistrator ulung, memilliki jaringan dan persahabat yang luas, dan
pekerja yang ulet.
Selain
membantu mertuanya membuat Terusan Bujang, salah satu sifat yang
menonjol dari pangeran Muhamad adalah keunggulan pada bidang admintrasi
jaringan kerja yang luas. Diantara karya besar yang ia wariskan yang
telah dan akan di nikmati oleh sepanjang masa, ialah Terusan Bujang
(Sungai Kedukan) sepanjang lebih kurang 15 kilo meter. Berpangkal dari
desa talang Balai dan berujung didesa Sungai Rotan, yang memberikan
keuntungan bagi pengairan persawahan daerah pegagan secara kesuluruhan,
disamping membebaskan desa-desa di sepanjang pinggiran sungai dari
luapan sungai Ogan. Pekerjaan besar itu di kerjakan meneruskan karya
mertuanya yang memulai dari Marga Pegagan Ilir Suku II.
Pangeran
ini melakukan kerjasama pula pemerintah Marga Saka Tiga membangun pasar
Indralaya yang merupakan pusat perekonomian daerah ini yang vital dan
berkembang pesat sampai sekarang. Ia menjadikan Lebung Karangan sebagai
waduk, sehingga persawahan ribuan di sekitarnya terbebas dari bahaya
kekeringan.
Tidak
dilupakan pula, jalan raya yang sekarang terbentang mulus, sekitar
20-an kilo meter panjangnya, adalah buah tangannya pula. Pada mulanya
hanya jalan setapak, kemudian oleh pihak berwenang dipercayakan oleh
kepadanya membangunnya menjadi jalan raya. Jalan itu menghubungkan kota Tanjung Raja ke simpang Timbangan juga gerbang Ogan dan komering.
Ia
bersabat baik dengan Residen Palembang yang memerintah waktu. Demikian
erat persahabatan mereka sehingga ketika Residen ini pindah ke Banjarmasin, mereka tidak putus komunikasi dengan saling kirim surat.
(sutar-surat disimpan rapi pada arsip keluarga salah sorang
keturunannya). Pangeran Nuh bersahabat baik pula Hoofd Demang Cek Gus
yang dikenal juga sebagai Hoofd jaksa (orang pribumi tertinggi
pangkatnya pada zamannya di palembang).
Dengan Hooft jaksa ini hubungan di tingkatkan lagi melalui tali
pernikahan putera-puteri keduanya, RH Mohd. Ali dengan mahani. Sahabat
baik terkenal Pangeran Nuh lainny. Ialah Demang Abdulrozak, terakhir
menjabat Residen dan merupakan Residen terakhir pula dalam sejarah
Karesidenan Palembang. Mereka pun meningkatkan hubungan dengan
berbesanan.
Sebagai
administrator ulung, ia membawa Marga Pegagan Ilir Suku I menjadi harum
namanya secara luas. Di tempat ini pernah berdiri bank Rakyat
(Volksbank), disamping desa yang pertama kali memperoleh akses telepon.
Kejayaan marga ini memang terjadi pada masa kepemimpinan Muhamad Nuh.
Sejak
kepemimpinan Muhamad Nuh marga ini memiliki kantor yang luas dengan
tenaga-tenaga admistasi yang terampil dan telaten, sehingga konon,
banyak kantor marga lainnya mengirim orangnya untuk di sini. Kantor nya
sendiri merupakan satu-satunya kantor Marga yang memiliki hubungan
telepon (sementara pesawat dan hubungan telepon itu sendiri masih
“barang” barang langka pada zamannya). Dengan berbagai kemajuan yang
diperoleh, menyebabkan Tanjung Sejaro sering mewakili pedesaan secara
untuk kunjungan daerah para petinggi pusat. Tidak kurang 3 Menteri dan 2
Duta Besar pernah berkunjung kemari. Selain berdiri Bank Rakyat, juga
telah memiliki Sekolah Rakyat (Vervoks-school) yang sangat tua. Vervoks School yang terdapat di desa ini adalah yang tertua di Sumatra setelah di Padang. Di bangun pada tahun 1916 dan hingga sekarang masih tetap utuh. Tanjung sejaro adalah ibu kota Marga dan bukan kecamatan, tetapi tempat ini menjadi tempat kedudukan para Asisten Demang.
Pangeran
Nuh meninggalkan sebuah Rumah Bari yang besar, luas dan anggun. Terbuat
dari tulang-tulang unglen dan papan tembesu rumah itu salah seorang
ahli warisnya dan salah satu kebanggaan pariwisata Sumatra Selatan.
Pangeran
Nuh harus pula dicatat sebagai seorang kakek yang telah mempersembahkan
seorang pahlawan bagi perang kemerdekaan RI. Ia adalah Rustam Effendi,
putera Pertama Depati Mohamad Nasaruddin dan bagi pangeran Nuh adalah
cucu pertama laki-laki. Namanya kemudian manjadi nama salah satu jalan
di kota palembang.
- Pangeran Haji Malian
Pangeran Haji Malian adalah putera Pangeran Liting, pasirah ke lima.
Ia dipilih langsung oleh rakyat pada tahun 1908. tokoh ini dikenal
sebagai orang yang sangat alim. Memperoleh pendidikan Islam di Mekkah
sejak berusia muda, dan tinggal pada Syi’if Ali, berguru kepada Syaikh
Umar Sumbawa. Ketika kembali ke tanah air telah membawa dua orang puteri
dari masing-masing satu dari istri pertama yang meninggal ketika di
Mekkah, dan seorang lagi dari istri ke dua.
Ketika
menggantikan ayahnya sebagai pasirah, ia telah di kenal sebagai kiyai
di lingkungan Marga dan daerah sekitarnya. Meski memangku jabatan
sebagai Pasirah yang selalu di sibukkan oleh tugas rutin Marga, ia tetap
menyempatkan diri untuk menyempatkan diri untuk menyampaikan dakwah dan
menyelenggarakan pengajian, cawisan, dan sebagainya di dusun tempat
tinggal atau dusun lain dalam Marganya.
Ia
sangat disegani dan ditakuti oleh mereka para pelanggar kejahatan dan
pencurian. Dengan dengan ilmu yang dimilikinya ia dapat membuktikan
apakah ia dapat membuktikan apakah orang itu yang mencuri atau bukan.
Menurut cerita, meski si pencuri berusaha segala cara tidak mengakui
perbuatannya, tetapi apabila telapak tangan nya di pegang akan keluar
asap sebagai tanda memang mencuri. Si pencuri mengakui perbuatannya.
Bila memang tidak mencuri, tidak keluar asap dan merasakan apa-apa. Ia
dapat pula menaklukkan orang yang memiliki ilmu kebal seperti tidak
mempan senjata atau tidak merasakan sakit bila dipukul. Ia dapat
menjadikan tawar ilmu seperti itu.
Salah
satu kebiasaannya ialah secara terjadwal melakukan kunjungan
kedusun-dusun di dalam Marganya. Apabila dusun yang dikunjungi itu
dekat, ini menempuhnya dengan berjalan kaki, apabila jauh ia lakukan
dengan menggunakan perahu tenda. Sambil menuju kerumah kerio ke suatu
dusun ia memeriksa keadaan kebersihan dusun. Sesampai di rumah kerio
biasanya ia telah di tunggu oleh masyarakat umum untuk mendengarkan
ceramah serta cawisan. Apabila kunjungan dilakukan pada hari jum’at, ia
langsung yang menjadi khatib dan imam shalat jum’at di dusun yang
bersangkutan. Pendidikan agama keluarga yang menjadi perhatiannya yang
serius. Ia mendidik putera-puterinya di lembaga pendidikan keagamaan
seperti Islamiah Tanjung Raja, Al-Munawar Palembang, Jamiatul Khair dan
Al-Irsyad Jakarta, dan ada di Mekkah mengikuti jejaknya.
Apabila
Pangeran Liting meninggalkan karya monumental berupa sungai Terusan
Bujang, Pangeran Haji Malian mewariskan lembaga pendidikan. Sekolah
Islamiah Tanjung Raja lembaga pendidikan yang ia dirikan, dengan
mendatangkan berpendidikan Saudi Arabia.
Sekolah ini sampai sekarang masih ada dan telah di Hibahkan kepada
Muhammadiyah. Meski ia di kenal sebagai pangeran dan seorang ulama,
tetapi Haji Malian bukanlah merupakan sosok yang anker. Ia sangat akrab,
dan memberikan pengajaran agama dengan cara yang santai seperti sambil
minum kopi dan bercerita yang penuh hikmah.
Pangeran
Haji Malian meletakkan jabatannya pada tahun 1927 karena merasa telah
uzur. Ia berhenti dengan hormat, dan digantikan oleh puteranya Haji Ali
Muhamad Nur.
Tulisan yang bagus! Saya asli Tanjungsejaro dan sekarang sudah bermukim di Lampung. Saat baru belajar menulis, saya pernah menulis tentang sejarah Marga Pegagan Ilir Suku (PIS). Saat ini pun saya sudah menulis beberapa buku yang sudah diterbitkan. Terus berkarya kawan! Wang tobo gale!
BalasHapusboleh tau apa judul buku yg memmbahas masyarakat pegagan ilir ? sya asli sungai pinang, ogan ilir.
HapusAdmin datanya dapat dari mana,bokeh kan saya menemui anda saya anak sejarah unsri
BalasHapusijin saya bagikan ke group
BalasHapusPangeran Muhammad Nuh asli orang mna sbb mnurut cerira turun temurun keluarga saya adalah.Bapak Nenek saya orang Desa Saka Tiga ialah dulu ketua lebak yg nama panggilan nya Pak Tue Mah Nuh ,beliau konon yg menempatkan orang2 dari Desa Saka Tiga bersawah di lebak Ulak Bedil ,sejangko smpai ke sungai lebung dan smpai skrg rata2 penduduk disana msh dari orang2 Marga Saka Tiga ,apkah beliau adalah Pangeran Muhammad Nuh yg dimaksud yg di pnggil Pak Tua Mah Nuh...trima kasih
BalasHapus